Gubuk Tengah Hutan

godok
Chapter #1

Pergi

Hujan sejak pagi belum juga berhenti, bahkan langit sangat gelap tidak ada tanda akan memberikan celah pada matahari untuk memamerkan sinar nya. Sore hari, tepat setelah pulang sekolah Gata berlari menerobos hujan menuju sebuah hutan yang berada di belakang sekolah. Setelah berlari beberapa menit, ia melihat sebuah gubuk tua dan berteduh di sana. Gata duduk di pinggir gubuk, tangan kanannya sibuk menyeka sergam yang basah kuyup dengan handuk kecil yang ia bawa di dalam tas.

“Loh, di situ basah, loh. Sini, loh. Di tengah, sini!” seorang wanita berambut panjang dengan wajah yang sangat pucat melambaikan tangan, mengisyaratkan Gata untuk bergabung ke tengah gubuk.

“Sebentar, Mba. Lepas sepatu dulu.” Jawab Gata. Anak lelaki berusia 17 tahun itu agak menunduk untuk melepas tali sepatunya.

Sedang kesulitan melepaskan tali sepatu, sepasang tangan mungil muncul dari bawah gubuk mencengkeram pergelangan kaki Gata. Perlahan, si pemilik tangan keluar dari bawah gubuk. Seorang anak mungil sekitar 7 tahun dengan rambut ikal berdiri di depan, Gata, anak itu tersenyum.

“Jangan berdiri di situ kamu, hujan. Masuk, gih!” Anak kecil itu tertawa cukup nyaring lalu terbang ke dalam gubuk.

Selesa melepas ke dua sepatu dan kaus kaki, Gata membalik badan dan berjalan untuk masuk ke bagian gubuk yang agak dalam agar tidak terkena hujan. Di dalam sudah ada wanita berambut panjang, area sekitar matanya terlihat hitam, rongga matanya terlihat jelas sudah tidak berpenghuni lagi. Di samping wanita berambut panjang, anak kecil yang tadi tersenyum kepada Gata bersila dengan manis. Pipinya agak tembam dengan kulit yang tidak kalah pucat nya dari si wanita berambut panjang. Jari-jari tangan dan kaki anak itu rapat dengan sempurna.

“Kurang dua anggota, nih?” tanya Gata, ia mengedarkan pandang ke sekitar. Saat menoleh kesebelah kiri, tepat di hadapan wajah Gata muncul wajah lain yang sebagian telah hancur dan Sebagian lagi terlihat sangat tampan. Tubuh sosok itu di bungkus oleh kain putih yang bahkan sudah berubah warna menjadi coklat.

Dengan cepat, Gata mengeluarkan belati kecil yang ada di sakunya untuk melayangkan serangan. Untungnya dengan cepat si wanita berambut panjang menggunakan rambutnya untuk menarik makhluk yang baru saja bergabung.

“Bahaya, Gat! Bahaya! Masukin lagi tuh jimat!” protes pria yang terbungkus kain mendapat delikan dari Gata yang dibuatnya terkejut. Bocil berambut ikal tertawa semakin nyaring melihat si pria berwajah setengah tampan yang nyalinya menciut.

Dasar demit, dia yang ngagetin dia yang protes. Ada empat orang di gubuk ini, satu manusia, tiga demit. Yang berambut panjang itu kuntilanak, biasa di panggil Mba Kun, pasaran, lah. Si yang baru aja ngagetin aku bisa ditebak, ia itu pocong. Biasa di panggil Pak Cey, biar gaul katanya. Nah, yang di samping Mba Kun bukan tuyul. Dia hantu anak kecil yang ditinggal sama orang tuanya di kali dekat sungai. Awalnya dia sendiri nggak sadar kalau dia udah jadi hantu, dia cuma mikir kalau dia itu anak indigo makanya bisa ngeliat Mba Kun sama Pak Cey. Baru sadarnya pas dia main hujan-hujanan tapi nggak basah. Air hujan malah tembus dibadan dia. Oh, ya. Nama dia Wije. Pak Cey yang kasih nama, terinspirasi dari aku yang lagi makan onde-onde. Yap, wijen. Ada satu lagi, kuntilanak juga, biasa dipanggil Mba Ilan. Kalau ada Mba Ilan sama Pak Cey, udah nggak ada yang Namanya ketenangan. Gubuk ini aja pernah sampai roboh karena mereka berdua.

“Awas ya, Pak. Aku aduin sama Mba Ilan!” Ancam Gata, bersedekap lalu menyenderkan punggung pada gubuk yang sudah mulai keropos.

Seketika hening, hawa dingin menjadi semakin menusuk. Wije yang tadinya tertawa terbahak-bahak kini menunduk dalam. Ia berjalan perlahan mendekati Mba Kun lalu memeluk wanita itu erat.

Lihat selengkapnya