“Gata, ayo sini! Temenin aku main.”
Gata yang hari itu baru saja datang ke gubuk sudah ditarik oleh Wije untuk bermain gundu dengan anak itu. Dengan wajah lesu dan pundak terkulai lemas, Gata hanya menuruti keinginan Wije. Pak Cey yang sedang meregangkan pinggang-melakukan kayang dengan kaki dan kepala sebgai tumpuan-menatap Gata menyelidik.
“Lemes banget, Gat. Abis putus, yaa?” goda Pak Cey yang mendapat delikan tajam dari Gata. Saat Wije menarik Gata melewati Pak Cey, dengan iseng Gata menendang ujung kaki Pak Cey, membuat pocong setengah tampan itu kehilangan keseimbangan jatuh hingga terguling.
“Orang tua loh saya ini, Gat. Nggak sopan kamu!” protes Pak Cey yang sedang berusaha Kembali berdiri, tapi selalu tergelincir. Ia malah terlihat seperti ulat keket yang sedang berjalan.
Mba Kun yang melihat dari atas pohon tertawa dengan anggun, namun suaranya cukup membuat merinding. Bahkan bagi Gata yang sudah sering berinteraksi dengannya. “Lagian ngapain loh, Pak. Kayang kok pakai kepala, loh?” sindir Mba Kun.
Pak Cey berdecak, “Berisik, Mba,” ia beguling ke pohon yang sedang dihinggapi Mba Kun. Menggunakan batang poho yang besar, Pak Cey perlahan mulai bisa bangkit Kembali. “Kepala itu harus sering-sering dialiri darah, biar oksigen juga lancar, pikiran jadi lebih luas.”
Mba Kun turun dari pohon. Ia berdiri di sebelah Pak Cey, menepuk-nepuk bagian kain kafan Pak Cey yang kotor karena berguling di tanah. “Dari pada kayang gagal kayak tadi, mending kamu banyak-banyakin sujud, Pak,” ujar Mba Kun yang tinggapi dengan kekehan ringan dari Pak Cey.
“Nah, terus. Itu kenapa?” tanya Mba Kun sambil melihat ke arah Gata, di depannya ada Wije yang sibuk melompat-lompat menari tarian di dalam sebuah lingkaran berukuran sedang.
“Lagi ritual itu,” jawab Pak Cey santai yang segera ditanggapi dengan pukulan tingan dari Mba Kun.
“Bukan Wije. Itu si Gata kenapa?”
Pak Cey membulatkan mulutnya lalu mengangguk. “Paling abis putus. Biasa lah, remaja puber,” lalu pocong setengah tampan itu melompat menghampiri Gata. Ikut masuk melompat ke dalam lingkaran dan menari bersama Wije. Mba Kun hanya bisa menghela napas melihat kawanan ghaibnya.
Kegiatan tari-menari sudah dihentikan. Sekarang Pak Cey dan Wije sibuk bermain kejar-kejaran dengan Pak Cey yang selalu saja tersandung. Karena kesal sudah susah-susah bangun tapi lagi-lagi dirinya jatuh, Pak Cey akhirnya mengejar Wije dengan cara menggelindingkan diri. Membuat anak kecil dengan tawa melengking itu semakin kegirangan.
“Aaaaa, aku dikejar setann!” teriak Wije di sela tawa bahagianya.
Gata yang sedang duduk di tepi gubuk bersama Mba Kun tertawa melihat interaksi keduanya.
“Nah, ketawa juga kamu,” ujar Mba Kun. Pandangannya masih menatap lurus ke arah Wije, tapi Gata merasa seolah saat ini Mba Kun sedang menatap dirinya penuh khawatir.