Hari Rabu pagi, suasana gudang terlihat lebih... kacau dari biasanya.
Bukan karena truk mogok. Bukan juga karena genset meledak.
Tapi karena Andri datang pakai jaket kulit, kacamata hitam, dan membawa koper kecil. Seolah-olah mau tur keliling Asia, padahal cuma lembur karena ada alat berat kiriman dari site Kalimantan.
“Bro, lo kenapa bawa koper? Kita mau ke Bandara Halim, nih?” tanya Angga bingung.
Andri menjawab santai sambil nyeruput kopi sachet, “Biar kelihatan senior aja. Senioritas tuh bukan cuma soal lama kerja, tapi soal gaya. Gue ini... teknisi veteran. Kayak nasi goreng, makin lama makin enak.”
Agung mendesis pelan, “Kecuali gosong.”
“Diam lo, Agung. Lo masih junior di hati istri lo,” balas Andri sambil nyengir.
Andri memang bukan teknisi biasa. Usianya hampir kepala empat, tapi gayanya masih kayak ABG TikTok. Hobinya nyanyi dangdut sambil las, ngegodain cewek SPG part-time, dan kasih “motivasi receh” ke anak-anak baru.
Di kalangan teknisi baru, Andri itu semacam urban legend. Cerita-ceritanya kadang gak masuk akal, tapi selalu bikin ngakak.
“Dulu waktu gue di Bontang,” katanya suatu kali, “gue pernah benerin bulldozer sambil ditendang angin ribut. Tapi gue tetap pasang filter oli, walau tangan gue gemeter kayak habis gajian.”
Angga yang baru tiga bulan kerja langsung bengong, “Wah keren, Bang. Itu gimana rasanya?”
“Kayak diputusin pacar pas masih nyicil hadiah ulang tahun.”
Pagi itu mereka mulai kerja bareng: Agung bongkar mesin, Angga bersihin injector, dan Andri… mondar-mandir dengan koper kecilnya, sesekali berhenti untuk memberi wejangan penuh makna.
“Angga, inget ya. Kalau nyambung selang hidrolik itu kayak nyambung hubungan. Kalo dipaksain, bisa bocor. Jadi harus pelan-pelan, sabar, dan jangan kebanyakan gaya.”
Angga mencatat di notes HP-nya. “Siap, Senior!”