Pagi di bengkel seperti biasa: suara mesin, bunyi tuts keyboard admin, dan... obrolan random dari tiga tokoh utama kehidupan dunia perbengkelan.
Agung datang dengan langkah berat, wajah cemberut. Di tangannya, ada satu bungkus nasi uduk setengah hancur.
Angga langsung nyeletuk, “Wah, nasi uduk gagal move on tuh. Udah berantakan di awal.”
Agung mengeluh, “Istriku tadi masak sambel terlalu pedas. Aku makan, mata jadi nangis, dompet ikut basah.”
Andri nyender di sofa kecil ruang tunggu, ngelus perutnya sambil berkata bijak,
“Hati-hati makan sambel pagi-pagi. Karena siapa yang pedas di awal, bisa meledak di tengah rapat.”
Kalimat itu terdengar kocak, tapi ternyata... itu pertanda.
Hari itu dijadwalkan rapat teknis dengan manajer area: Pak Arwani. Rapat bulanan yang dikenal dengan julukan: “Rapat Penyiksa Jiwa” — karena isinya laporan, koreksi, dan pertanyaan jebakan yang bikin mikir lima kali sebelum jawab.
Jam 09.00 tepat, semua teknisi senior, supervisor, dan beberapa admin berkumpul di ruang meeting yang sempit dan aromanya... seperti campuran kopi sachet, minyak bekas, dan parfum kelas 50 ribu.
Agung duduk di pojok, Andri di dekat pintu, Angga di tengah—posisi strategis untuk kabur dan sekaligus dengerin dua sisi.
Pak Arwani masuk. Suara sepatunya tegas. Pakaiannya rapi. Wajahnya serius, khas orang yang udah 15 tahun menilai KPI orang lain.
“Selamat pagi semuanya,” katanya dengan suara datar.
“Pagi Pak,” jawab semua dalam satu nada lesu. Kayak anak sekolah habis ujian matematika.
Rapat dimulai.
Grafik ditampilkan. Laporan ditayangkan. Laptop menyala, proyektor menyinar, dan... perut Agung mulai bergejolak.
Andri menyenggolnya pelan. “Gung, lu kenapa?”
Agung bisik, “Sambel istri gue menyerang. Perut gue... kaya mau revolusi.”
Andri cekikikan, “Gue udah bilang, sambel pagi-pagi itu ibarat bom waktu.”