Manggarai, Rabu 25 Juli 1979
Sejak kepergian orangtuanya, Gukapi kerap ikut Prawi, kakaknya yang teguh prinsip. Mereka ke Manggarai untuk bekerja bersama dalam usaha dagang, mulai dari menjual karpet hingga memasok barang ke toko-toko.
Di Manggarai mereka menyewa sebuah rumah kontrakan kecil, dan Prawi menetapkan aturan yang tegas: tidak ada minuman keras dan judi di dalam rumah. Aturan itu menjadi landasan rumah tangga mereka, mencerminkan ketekunan dan integritas Prawi dalam menjaga moralitas dan kedisiplinan.
Suatu sore yang panas, setelah seharian bekerja keras, Prawi kembali ke rumah kontrakan mereka. Namun, saat mendekati rumah, ia mendengar suara riuh dari halaman depan. Dengan langkah cepat, ia mendekati sumber suara dan melihat sebuah pemandangan yang menghancurkan hatinya. Di sana, di tengah kerumunan orang-orang yang bermain kartu remi dan menaruhkan uang, duduklah Gukapi. Di sekitar mereka, botol-botol minuman keras dan gelas-gelas kopi berserakan, bersama dengan sisa-sisa gorengan.
Wajah Prawi memerah, amarah membakar dalam dadanya. Tanpa berpikir panjang, ia meraih ember berisi air yang ada di dekatnya dan menyiramkannya ke arah Gukapi. "Apa yang kamu lakukan di sini?!" teriaknya, suaranya menggema penuh kemarahan. Tak cukup dengan itu, Prawi mengambil sebuah cireng dari meja dan melemparkannya ke muka adiknya.
Gukapi terdiam, air bercucuran dari rambut dan wajahnya. Rasa malu dan kesal bercampur dalam hatinya. Tanpa sepatah kata pun, ia berdiri dan pergi meninggalkan tempat itu. Prawi yang masih terbakar emosi, tidak menyadari bahwa adiknya sama sekali tidak ikut berjudi atau minum-minum. Ia hanya kebetulan berada di sana saat kerumunan itu berkumpul.
Ketika kerumunan mulai bubar, beberapa orang mendekati Prawi dan menjelaskan situasi yang sebenarnya. "Gukapi tidak ikut-ikutan, Prawi. Dia hanya duduk di sana, tidak melakukan apa-apa," kata salah satu dari mereka. Prawi tertegun, rasa sesal menguasai dirinya. Betapa bodohnya ia telah terbawa emosi dan mempermalukan adiknya tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu.
Malam itu, dengan hati yang penuh penyesalan, Prawi berkeliling Jakarta mencari Gukapi. Ia mendatangi rumah-rumah kontrakan yang biasanya dihuni oleh para pedagang asal Cirebon, berharap menemukan adiknya. Namun, hasilnya nihil. Gukapi seakan hilang ditelan malam.
Di malam pertama Ramadan, Prawi terduduk di depan sebuah rumah kontrakan, air mata mengalir di pipinya. "Harusnya aku bisa menjaga kamu, Gukapi," bisiknya dengan suara gemetar. "Maafkan aku...."
Dengan perasaan bersalah yang mendalam, Prawi bertekad untuk terus mencari Gukapi. Ramadan ini mungkin akan menjadi pengingat bagi Prawi tentang pentingnya pengendalian diri dan pemahaman sebelum bertindak. Di dalam hati kecilnya, ia berharap Gukapi akan memaafkannya dan kembali ke rumah kontrakan mereka yang sederhana di Manggarai.
***