GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #5

Cahaya dari Gerhana Matahari

Crebon, 11 Juni 1983


Seluruh desa sedang bersiap-siap menyambut gerhana matahari total yang langka. Fenomena alam ini membawa suasana kegembiraan bercampur dengan kecemasan, terutama bagi para sesepuh desa yang masih memegang erat tradisi serta mitos lama.

Di tengah ketegangan, Lonawi yang sedang hamil besar perutnya mulai kontraksi. Ia merasa sakit yang semakin intens, pertanda bahwa bayinya akan segera lahir. Namun, nasib tak sepenuhnya berpihak pada ibu hamil itu. Gukapi sedang merantau di Jakarta, mencari nafkah untuk istri dan calon anaknya. Karena itulah Lonawi hanya bisa berharap dan berdoa agar proses persalinan berjalan lancar tanpa kehadiran sang suami di sisinya.

Di rumah sederhana mereka, Mak Iyem, sudah bersiap. Tetangga-tetangga yang mendengar kabar segera berdatangan untuk menemani Lonawi. Sayangnya mereka masih percaya pada mitos lama yang mengatakan bahwa wanita hamil harus masuk kolong tempat tidur saat gerhana datang, agar bayi yang dikandung tidak terkena sial. Meski setengah percaya setengah tidak, Mak Iyem tetap mengikuti saran itu demi keselamatan anak dan cucunya.

"Yi, coba manjing ning longan bale dikit.1 Ini demi kebaikanmu dan bayi di kandungan," ujar Mak Iyem dengan suara penuh kekhawatiran.

"Emangnya harus, Mak?" tanya Lonawi penuh keraguan.

"Wis lah... nurut bae ning wong tua jaman bengen."2

Meski ragu, akhirnya Lonawi mengangguk menuruti ibunya. Ia perlahan masuk ke kolong tempat tidur. Sedangkan tubuhnya merasakan sakit yang semakin hebat di di bagian perut. 

Dunia di luar semakin gelap, seolah malam telah datang lebih awal. Suasana menjadi hening, hanya suara doa dan bisikan mulai terdengar dari tetangga-tetangga yang berkumpul di rumah.

Tak lama kemudian, ketuban Lonawi pecah. Air mengalir deras, membuat Mak Iyem semakin panik. Ia segera memanggil paraji, dukun beranak setempat yang sudah bersiap di rumah sebelah.

"Sapa bae tulung undangen Mbok Dang,3 ketuban Lonawi pecah!" Mak Iyem berteriak kepada kerabat dan tetangga yang hadir dengan suara bergetar.

Mbok Dang, seorang wanita paruh baya dengan pengalaman puluhan tahun, segera datang. Ia membawa peralatan sederhana yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Dengan cekatan, ia mulai membantu Lonawi yang sudah berhasil keluar dari kolong tempat tidur. Kemudian wanita hamil itu dibaringkan di atas ranjang. 

Paraji memberi arahan agar Lonawi bisa mengendalikan rasa sakit yang tak tertahankan.

"Tenang, Yi. Tarik napas dalam... keluarin pelan-pelan." Paraji memberi contoh. "Sok yang nurut sama Embok, ya... biar nanti lahirannya lancar," kata paraji dengan suara menenangkan.

Di luar, gerhana matahari total mencapai puncaknya. Langit gelap gulita, membuat desa seolah terlelap dalam kegelapan malam. Namun di dalam rumah kecil itu, ada sebuah cahaya harapan yang segera lahir. Dengan panduan tangan terampil paraji serta dukungan doa dari Mak Iyem dan para tetangga, Lonawi berjuang keras melahirkan anak sulungnya.

Setelah hampir satu jam penuh perjuangan, terdengar tangisan pertama bayi itu. Suaranya memecah keheningan dan membawa kebahagiaan tak terhingga bagi semua yang hadir. 

Mak Iyem tak kuasa menahan air mata kebahagiaan. Ia memeluk cucu pertamanya yang baru lahir dengan penuh kasih sayang.

Lihat selengkapnya