Gukapi yang baru saja selesai menyedot sisa minuman memastikan kembali bahwa pria asing yang baru singgah di gazebo warung itu orang yang dikenalnya. Ia meletakkan gelas di samping Lonawi, kemudian mendekati pedagang balon dengan kumis tebal yang sedang mengelap keringatnya.
"Suwiryo...." Gukapi melihat ke wajah pedagang tersebut.
Pria berkaus putih itu melihat ke arah Gukapi. "Lha... Gukapi?"
Keduanya saling bersalaman. Kemudian disusul pelukan hangat dari seorang teman.
"Masyaallah... ente pribe kabare?"1 tanya Gukapi.
"Kabar baik, Pi. Ente sendiri gimana? Lagi apa di sini?"
Lonawi yang merasa tidak kenal dengan pedagang balon itu pun mendekati suaminya. "Sapa, Ang?"2
"Ini sahabat lamaku, kita sama-sama dari Bojong Timur. Tapi cukup jauh dari Borgol. Kalau Suwiryo ini di Blok Sungai Dua."
Lonawi mengangguk-angguk merasa mengerti dengan penjelasan suaminya. Ia tahu betul di mana daerah Sungai Dua. Banyak teman Lonawi yang tinggal di blok tersebut. Sedangkan Gukapi menjawab pertanyaan Suwiryo, sedang apa ia dan istrinya ada di tempat tersebut.
Gukapi menjelaskan bahwa ia merasa telah dibodohi oleh kerabat dari kakak iparnya. Keberadaan dirinya di Jatinegara karena sedang dilema, ke mana ia harus pergi?
Mereka ingin memulai usaha, tetapi tidak mau di Manggarai lagi karena di sana, Prawi pun masih menumpang di kontrakan orang lain. Jika kembali ke Cirebon, sangat kecil kemungkinan.
"Sengaja ke sini biasanya kan banyak orang dari Cirebon jualan di Jatinegara. Ya... siapa tahu ketemu orang buat ngobrol-ngobrol," tutur Gukapi.
"Di tempat aku ngontrak aja, gimana? Memang, sih, aku juga masih menumpang. Tapi ini pasti lebih baik, rumahnya cukup luas. Di sana juga ada sepupu aku."
"Bener tuh, Ang. Mending ikut sama Kang Wiryo untuk sementara, dari pada balik ke Manggarai," ujar Lonawi.
"Memangnya tinggal di mana, Su?" tanya Gukapi.
"Aku di Klender, Pi."
"Lumayan deket, ya?"
"Dekat mana dari sini ke Manggarai sama dari sini ke Klender, Kang?" tanya Lonawi.
"Sama-sama dekat sebenarnya, tapi kayaknya lebih dekat ke aku, Wi. Cuma empat sampai lima kilo meter lah dari sini."
"Biaya menumpang di sana berapa per bulan?" tanya Gukapi.
"Enggak usah mikirin biaya menumpang dulu. Ada yang bertanggung jawab membayar kontrakan di sana. Biasanya kita cuma diminta patungan buat bayar listrik sama air, itu pun nggak usah khawatir. Nanti dari aku dulu aja, ente fokus merintis usaha."
Sambil menyugar rambutnya, Gukapi berkata, "Nanti enaknya usaha apa, ya? Sekiranya gak perlu banyak modal dan banyak peluangnya? Uangku tipis banget, nih."
"Kayak aku aja, nih, jualan balon." Suwiryo menampakkan giginya. "Kalau ada modal maunya, sih, jualan mainan juga, Pi. Di kontrakan aku banyak juga yang jual mainan."
Gukapi merenung sejenak mendengar saran Suwiryo. Ucapan sahabat lamanya itu terdengar masuk akal, apalagi mengingat kondisi keuangan mereka yang semakin menipis. Gukapi menatap wajah Lonawi yang tampak penuh harap, berharap keputusan yang mereka ambil kali ini bisa membawa perubahan.
"Kayaknya bisa dicoba, Su," ujar Gukapi pada Suwiryo. Pria itu menatap istrinya. "Gimana, Nok? Di sana bisa numpang sementara belum bisa ngontrak sendiri, tanpa perlu khawatir soal biaya kontrakan. Nanti bisa fokus dulu ke usaha."
Lonawi mengangguk setuju. "Aku setuju, Ang."
Gukapi kemudian menoleh kembali ke Suwiryo, menatap pria itu dengan tekad yang bulat. "Ya wis, Su, ayo lah isun melu ning genae ente bae,3 di Klender." Pria itu menghela napas. "Dulu aku pernah jualan balon zaman masih bujang. Tapi udah lama banget. Kalau jual mainan, belum pernah sama sekali."
Suwiryo tersenyum lebar. "Enak, Pi, kalau udah punya pengalaman mah." Ia menghela napas. "Jualan mainan mah gampang, di sana banyak orang yang bisa kasih saran. Aku kenalin sama Karto nanti, sepupuku yang jualan mainan. Dia udah lama di sana, pasti bisa bagi-bagi pengalaman."
Gukapi dan Lonawi merasa lega dengan keputusan ini. Bersama Suwiryo, mereka kemudian berjalan menyusuri trotoar jalanan Jatinegara menuju Klender. Perjalanan itu sedikit menenangkan hati, meski masih ada kekhawatiran yang menghantui. Namun, semangat baru untuk memulai hidup di tempat yang berbeda memberikan mereka harapan bagi Gukapi dan Lonawi.
Setibanya di Klender, Gukapi dan Lonawi disambut oleh suasana yang berbeda dari Manggarai. Meski masih sama-sama padat dengan hiruk-pikuk kota, daerah ini terasa sedikit lebih tenang. Mereka tiba di kontrakan Suwiryo yang cukup luas, dan meski sederhana, tempat itu terasa hangat dengan sambutan ramah dari Suwiryo dan beberapa tetangga yang tinggal di sana.
"Ini tempatnya, Pi," kata Suwiryo sambil membuka pintu kontrakan. "Yang berkuasa di sini belum datang." Pria itu terkekeh.
Lonawi menatap sekeliling, merasa lega bahwa mereka akhirnya punya tempat tinggal yang layak. Sedangkan Gukapi mengamati tiap detail bangunan. Ia merasa tidak asing dengan tempat barunya itu.
"Kita kaya lok mene, tapi kapan, ya?"4 gumam Gukapi.
"Masa iya, Ang?" Lonawi memastikan.
"Beneran, Nok... jaman masih cilik karo Kang Prawi maninge Kang Aman."5
Beberapa saat setelah Gukapi dan Lonawi duduk santai di ruang tamu, penanggung jawab kontrakan pun datang. Pria itu diduga usia 60 tahun, membawa sepeda berisi banyak mainan. Setelah meletakkan sepeda, ia masuk ke ruang tamu dan melihat Gukapi serta Lomawi.
"Mamang...." Gukapi memanggil pria yang sedang berjalan ke arahnya.
"Lha... sapa kiene?"6 tanya penanggung jawab kontrakan tersebut.
"Gukapi, Mang... anaknya Bapa Sujil."