Jakarta, Juni 1985
Saat Ajeng berusia 14 bulan, Gukapi dan Lomawi kembali merantau. Kali ini, mereka mengajak putrinya yang semakin lincah dan sudah mulai berbicara meski belum cukup jelas. Keputusan pergi bertiga diambil setelah Gukapi merasa cukup dengan penghasilan mereka selama beberapa bulan terakhir. Sudah satu tahun ia mulai merambah jualan mainan. Berkat rindu akan tantangan baru dan keyakinan bahwa mereka bisa meraih sesuatu yang lebih baik di perantauan, Gukapi berhasil meyakinkan Lonawi ikut membawa Ajeng ke perantauan.
Sampainya di Jakarta, mereka kembali ke tempat lama di Klender. Namun, ada perubahan yang mengejutkan. Karto, sepupu Suwiryo yang selama ini menjadi teman akrab mereka, ternyata sedang bersiap-siap pindah. Karto ingin mencoba tantangan baru berencana mencari tempat tinggal dan usaha baru di Depok.
"Kenapa tiba-tiba mau pindah?" tanya Gukapi dengan nada heran, saat mereka duduk di ruang tengah kontrakan Mamang.
"Sebenarnya sudah lama kepikiran, Pi. Tempat ini makin ramai, makin sulit juga buat dapat penghasilan yang cukup. Menurut teman-teman yang ada di sana, katanya Depok lebih banyak peluang. Lagipula, aku pengen nyoba usaha baru," jawab Karto, sambil merapikan barang-barangnya ke dalam kardus.
Gukapi mendengarkan dengan seksama. Pikirannya mulai berputar, mempertimbangkan kemungkinan baru.
"Kapan-kapan kamu main ya ke tempat baruku ini!"
Gukapi melempar senyuman. "Pasti itu, Kar!" Pria berkumis tebal itu menghela napas. "Tinggal tulis aja alamat yang lengkap. Nanti aku ke sana kalau lagi gak jualan."
Beberapa hari kemudian, Gukapi mulai berjualan seperti biasa. Sedangkan Lonawi di kontrakan bersama Ajeng.
Gukapi sudah terbiasa dengan berat pikulan yang menekan bahunya. Di kiri dan kanan, berbagai barang dagangan bergoyang seiring langkahnya. Mainan anak-anak, celengan beraneka bentuk, dan perabot kecil lainnya menjadi perantara untuk mencari nafkah. Ia berjalan dari satu daerah ke daerah lain, menawarkan dagangannya dengan senyum ramah yang selalu menjadi andalan. Wajahnya yang berkumis tebal tampak cerah meski matahari terik membakar kulitnya.
Sambil berjalan, ia menyapa setiap orang yang lewat. "Mainan murah! Celengan buat anak-anaknya ... Mas, Bu!" serunya.
Anak-anak kecil yang sedang bermain di pinggir jalan langsung berlari mendekat, melihat mainan yang dibawanya dengan antusias.
Seorang ibu yang sedang membawa anaknya menghampiri Gukapi. "Mas, ada mainan yang buat anak perempuan enggak?" tanya sang ibu sambil menggendong putri kecilnya.
"Ada, Bu." Gukapi memilah barang dagangannya. "Ini boneka kain yang lembut, cocok buat anak seusia ini. Ada juga celengan bentuk boneka, siapa tahu jajan si adek mau ditabung." Gukapi menyodorkan beberapa barang dengan senyum lebar.
Ibu itu mengangguk puas. "Ambil dua boneka ini dan satu celengan, Mas. Harga berapa semuanya?"
Gukapi dengan cekatan menghitung harga barang-barang tersebut, memberikan potongan harga kecil karena ibu itu membeli lebih dari satu barang. "Semuanya lima ratus rupiah saja, Bu. Ini bonekanya kualitas bagus, insyaallah awet dipakai."
Setelah transaksi selesai, Gukapi melanjutkan langkahnya. Di tengah perjalanan, ia memutuskan untuk mangkal di pasar lokal, tempat yang sering menjadi pusat keramaian. Di sana, ia bertemu dengan para pelanggan setia yang selalu menunggu kedatangannya.
"Pak Kumis, ada mainan baru enggak?" tanya seorang bapak tua, sambil tersenyum akrab.
"Ada dong, Pak!" Gukapi mengambil benda yang dimaksud. "Ini ada mobil-mobilan dari kayu, bagus buat cucu Bapak. Ada juga gasing dan layangan, lagi tren sekarang!" Gukapi menjawab dengan antusias, sambil menunjukkan barang-barang tersebut.
Hari-hari seperti ini cukup menyenangkan bagi Gukapi. Ia menikmati setiap perbincangan dengan pelanggannya. Para pembeli itu sering kali berterima kasih karena apa yang dijual Gukapi selalu berkualitas dengan harga terjangkau. Pelanggan-pelanggan sekitar pasar, baik pribumi maupun keturunan Tionghoa sangat menghargai kejujuran dan keramahtamahan Gukapi. Dari mulut ke mulut, kabar tentang ‘Pak Kumis yang amanah’ ini menyebar, membuatnya semakin dikenal di daerah-daerah yang dikunjungi.
Di kala pekan olahraga, karnaval, atau pasar malam, Gukapi selalu mengambil kesempatan untuk berdagang. Dalam acara-acara seperti itu, ia membawa mainan lebih banyak dari biasanya, dari yang harga murah sampai yang cukup mahal. Ia tahu betul bahwa saat acara-acara besar seperti ini, orang tua cenderung lebih royal dalam membelikan mainan untuk anak-anak mereka.
Di pasar malam, suasana ramai dengan lampu warna-warni dan suara musik memeriahkan suasana. Gukapi berdiri di salah satu sudut pasar, menawarkan mainan seperti biasanya. Seorang anak kecil menarik-narik lengan ayahnya, memaksa minta dibelikan sebuah mobil-mobilan yang berkilauan di bawah cahaya lampu.
"Pak, beli ini dong, Pak!" rengek anak itu.
Ayahnya tersenyum dan melihat ke arah Gukapi. "Berapa ini, Mas?"
"Yang ini delapan ratus rupiah, Pak. Mainan ini lagi banyak dicari, jadi cepat habis," kata Gukapi dengan gaya penjualannya yang bersahabat.
"Mahal banget, kurangi dong," ucap pelanggannya.
Gukapi melempar senyuman. "Paling jadi tujuh ratus lima puluh, Pak." Ia mengambil barang lainnya. "Kalau mau yang lebih murah, ada nih... cuma dua ratus. Tapi gak sebagus yang ini."
Melihat anaknya tidak mau barang lain, sang ayah pun mengeluarkan uang tujuh ratus lima puluh rupiah dari sakunya dan menyerahkan kepada Gukapi. "Ya udah saya ambil satu, Mas."
Setelah beberapa bulan berdagang dengan intens, Gukapi merasa tabungannya sudah cukup untuk sedikit bersantai. Ia memutuskan untuk mengajak Lonawi dan Ajeng mengunjungi Karto yang tinggal di Depok. Ia ingin bertemu dengan sahabat lamanya itu guna mempererat hubungan kekeluargaan.
Di perjalanan menuju Depok, suasana di dalam bus terasa nyaman. Gukapi duduk di samping Lonawi yang sedang memangku Ajeng.
"Nanti kalau kita sampai, pasti Karto senang banget. Udah lama juga enggak ketemu," ujar Gukapi sambil tersenyum.