GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #10

Ember Milik Gukapi

Tahun 1986 menjadi masa yang penuh berkah bagi keluarga Gukapi dan Lonawi. Setelah beberapa tahun Ajeng menjadi satu-satunya buah hati, Lonawi akhirnya melahirkan anak kedua. Seorang bayi perempuan yang cantik, diberi nama Wirsyanti. Kelahiran membawa kebahagiaan baru di rumah mereka di Blok Karang Cantik. Selain itu, mereka juga berhasil membeli motor seharga Rp. 150.000,- dari hasil menjual sebagian emas yang pernah dibelinya.

Sejak kelahiran Syanti, Gukapi semakin termotivasi untuk mengembangkan usahanya. Setiap kali memandang kedua anaknya, Ajeng yang mulai tumbuh besar dan Syanti yang masih mungil, ia merasa harus bekerja lebih keras untuk memastikan masa depan mereka.

Selama berada di Bojong, Gukapi memperhatikan satu hal yang membuatnya berpikir. Di kampungnya, banyak orang mulai berjualan ember plastik. Ember-ember itu laku keras di kalangan ibu-ibu rumah tangga. Ide itu menancap kuat di benak Gukapi.

“Ma, Bapa punya ide baru,” kata Gukapi suatu malam saat Ajeng dan Syanti sudah tertidur. “Aku lihat di Bojong Timur banyak yang jual ember, dan aku udah tanya-tanya katanya laku keras. Gimana kalau aku coba jadi bos ember di Depok? Kita bisa kembangkan usaha ini.”

Lonawi, yang berbaring di samping Syanti, memandang suaminya yang berada di seberang sang anak. “Bagus tuh, Pa. Apalagi kalau di Depok belum banyak yang jualan ember. Kita bisa jadi pelopor. Tapi emang Bapa yakin bisa jalanin?”

Gukapi tersenyum, penuh keyakinan. “Aku yakin, Ma. Nanti mau cari orang buat bantuin jadi pedagang keliling. Ya... tanya aja sama anak-anak di sana."

Anak-anak yang dimaksud Gukapi adalah pedangan keliling di kontrakan yang menjual balon-balon miliknya.

"Aku juga nanti mau coba jualan nasi kayak istrinya Karto gitu, Pa."

"Jangan, Ma! Nanti ribet, apalagi sekarang ngurusin Syanti."

"Mama jualan di rumah mah aja, di kontrakan kan ada anak-anak tuh, biar mereka nanti beli makan ke Mama aja." Lonawi menghela napas. "Gimana menurut Bapak?"

Gukapi pun mengangguk setuju.

Setelah kembali ke Depok, ia mulai menjalankan idenya. Ada dua pedagang balon di antara 11 orang yang bersedia berkeliling jualan ember di berbagai kawasan Depok. Setiap hari, mereka memikul ember-ember plastik berbagai ukuran dan warna, menawarkan dagangannya kepada penduduk setempat.

Usaha ini ternyata sukses, penjual balon pun sebagian memiliki dua pekerjaan. Pagi berjualan balon sedangkan sore menjajakan ember.

Anak buah yang pulang kampung untuk bertemu keluarga mengabarkan tentang keberhasilan Gukapi menjual ember. Karena itulah banyak orang-orang dari Sungai Dua, Karang Cantik, Borgol, Kosambi dan blok-blok di Desa Bojong Utara dan Timur berbondong-bondong ke Depok hendak menjadi anak buah Gukapi.

Lonawi yang mulai kewalahan memasak pun mulai merekrut ART. Meski Gukapi sudah memiliki anak buah, ia masih berdagang sama seperti pegawainya. Tiap pagi ia menyusun ember, gantungan, celengan dan mainan ke atas motor dengan rapi dan berkeliling hingga siang. Pulangnya, ia akan membawa barang belanjaan yang sudah dipesan. Sedangkan sore hingga malam ia mengirim pesanan para pelanggannya ke toko-toko besar sepanjang pasar di Depok dan Jakarta.

Kehidupan Gukapi dan Lonawi semakin nyaman. Sang suami fokus mengelola usaha yang terus berkembang. Sedangkan istrinya bergelut dengan usaha jualan nasi dan tetap merawat Ajeng serta Syanti. Sekarang, penghasilan bukan hanya dari Gukapi, tetapi juga Lonawi.

Setiap tahun, Gukapi juga tak pernah absen mengikuti event Ramadan yang diadakan di Depok ataupun Jakarta. Event ini selalu menjadi kesempatan emas baginya untuk menjual mainan anak-anak, dari yang sederhana hingga yang cukup mahal. Waktu Ramadan selalu menjadi musim panen baginya, karena mainannya laris manis dibeli oleh para orang tua yang ingin menyenangkan anak-anak mereka menjelang Lebaran.

Pada tahun 1987, ketika Syanti masih kecil, Gukapi memutuskan untuk tidak pulang kampung bersama Lonawi saat lebaran. Kali ini, ia memilih tetap berjualan di event Ramadan di Depok I. Lagi pula, kedua anaknya ada bersama mereka, tak khawatir jika tidak mudik.

“Tapi pas hari lebaran kita pulang ke Cirebon, kan, Pa? Kasihan Emak nanti kalau kita gak pulang. Pasti udah kangen sama Ajeng." Lonawi berbicara pada Gukapi yang sedang sibuk menghitung uang.

“Iya, Ma. Nanti kita pulang pagi-pagi setelah salat Idul Fitri, ya. Bapak pikir kita bisa manfaatin ini. Event Ramadan di Depok I tahun ini lebih besar daripada tahun-tahun sebelumnya. Kesempatan buat kita jualan lebih banyak,” jelas Gukapi sambil fokus memisahkan pecahan uang sesuai kelompoknya.

Selama event Ramadan, Gukapi bekerja keras. Meski kerinduan untuk berkumpul dengan keluarga besar di kampung halaman terasa berat, hal itu tak menurunkan semangat. Usahanya pun tak sia-sia. Penjualan mainannya melonjak drastis, dan Gukapi berhasil mengumpulkan banyak keuntungan.

“Pa, alhamdulilah ya banyak banget orang yang beli mainan kita. Padahal di sebelah sana ada kios mainan juga, tuh." Lonawi menunjuk tempat lain yang sepi pembeli.

"Alhamdulillah, ini rezeki dari Allah untuk Syanti dan Ajeng,” kata Gukapi penuh syukur setelah mereka menghitung hasil penjualan.

Gukapi tersenyum lebar, menatap anak-anak mereka yang sedang bermain di dalam tenda buatan. “Alhamdulillah, Ma. Ini semua karena Allah, perantara kerja keras kita. Semoga tahun depan bisa lebaran di Bojong, ya.”

Meski mereka tidak pulang ke kampung halaman, Gukapi dan Lonawi tetap merasa bahagia karena usaha mereka semakin berkembang. Keputusan untuk tetap berjualan selama event Ramadan adalah salah satu pilihan terbaik yang mereka buat. Bahkan, pedagang keliling Gukapi pun beberapa tidak pulang kampung. Karena itu Lowani masih harus berjualan nasi untuk makan pegawai suaminya.

Akibat Lonawi semakin sibuk, terpaksa ia berniat menitipkan Ajeng pada Mak Iyem di kampung. Setelah lewat lebaran nanti, hanya Syanti yang dibawa ke Depok, karena anak keduanya itu masih butuh menyusu. Ia yakin ibunya tidak akan memberikan makanan sembarangan lagi pada Ajeng, karena sekarang anaknya sudah bisa memilih makanan sendiri dan mengunyah dengan baik di usianya yang memasuki 5 tahun.

Lihat selengkapnya