Depok, Tahun 1988
Angin sepoi-sepoi bertiup lembut di halaman kontrakan Gukapi. Di bawah langit biru yang cerah, Lonawi duduk di beranda depan sambil memangku Syanti, yang kini berusia dua tahun. Anak itu terlihat tenang, matanya yang bulat besar menatap kosong ke arah jalan, sementara Lonawi menyisir rambut halus buah hatinya yang panjang hitam legam dengan penuh kasih sayang.
Sayangnya, ada sesuatu yang mengganjal di hati Lonawi. Di usia sang anak yang sudah dua tahun, Syanti belum bisa berbicara satu kata pun. Sementara anak-anak seusianya sudah mulai berceloteh, begitu pun saat Ajeng seusianya. Bahkan anak sulungnya itu pernah meminta bintang, tapi adiknya hanya mampu mengeluarkan suara-suara tak jelas.
Kekhawatiran ini terus menghantui pikiran Lonawi, membuatnya tak bisa tidur nyenyak setiap malam.
“Pa, aku semakin khawatir dengan Syanti,” ujar Lonawi pelan saat Gukapi sibuk mencatat hasil setoran para pedagang.
Gukapi tampak lelah, wajahnya dipenuhi keringat setelah seharian bekerja. Namun, begitu mendengar kekhawatiran sang istri, ekspresinya berubah serius.
“Memangnya Syanti kenapa, Ma?” tanya Gukapi, menundukkan tubuhnya untuk mengusap kepala Syanti. Anak yang hendak tidur itu menoleh, tersenyum kecil, tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir mungilnya.
“Anak-anak seusianya sudah mulai bicara, Pak. Tapi Syanti… dia belum bisa apa-apa,” Lonawi menjelaskan dengan suara penuh kekhawatiran. “Mama takut Syanti kenapa-napa.”
Gukapi menghela napas panjang. “Mungkin perkembangannya lambat, Ma. Kata bidan waktu kita bawa Ajeng pas masih kurus, ada anak yang memang telat bicara, tapi nanti juga bisa normal seperti anak-anak lain.”
Namun, di dalam hati Gukapi juga merasakan hal yang sama. Ia mencoba tetap tenang demi Lonawi, tapi bayangan bahwa putri kecilnya mengalami masalah serius terus menghantui pikirannya.
Akhirnya, setelah beberapa hari berpikir, Gukapi memutuskan untuk membawa Syanti ke dokter di Jakarta. Mereka pergi ke sebuah rumah sakit yang terkenal dengan dokter-dokter spesialis anak. Suasana di ruang tunggu rumah sakit terasa mencekam, penuh dengan kekhawatiran dari orang tua yang menunggu giliran. Dinding putih rumah sakit seolah menyerap setiap suara, menciptakan kesunyian yang hanya dipecahkan oleh tangis anak-anak.
Lonawi duduk sambil memeluk erat Wirsyanti, sementara Gukapi mondar-mandir di sekitar ruangan. Detak jantungnya terasa semakin cepat saat nama anak mereka dipanggil. Keduanya melangkah masuk ke ruang periksa, di mana seorang dokter anak menunggu dengan senyuman ramah.
“Bapak dan Ibu, silakan duduk,” sapa dokter itu. Ia mengenakan kacamata tebal dan memiliki wajah yang terlihat bijaksana.
“Terima kasih, Dok,” jawab Gukapi sambil duduk di samping Lonawi.
Pria tua itu mulai memeriksa Wirsyanti dengan teliti, memperhatikan setiap gerakan dan respon sang pasien. Setelah beberapa saat, dokter tersebut menghela napas dan menatap kedua orang tua yang menunggu dengan cemas.
"Anak ibu sudah bisa jalan?" tanya sang dokter.
Lonawi mengangguk-angguk. "Sudah, Dok."
"Syanti ini sebenarnya anaknya aktif banget, Dok. Cuma kekurangannya belum bisa ngomong. Kalau lagi fokus main, dipanggil itu susah nengok," imbuh Gukapi.
"Jalannya normal atau kadang suka jinjit?" Dokter kembali bertanya.
"Iya, Dok... Syanti kalau jalan itu jinjit. Beda sama kakaknya. Kadang saya takut dia jatuh karena jalan jinjit," jelas Lonawi.
"Sama ini, Dok... anak saya ini kalau makan gak bisa tenang. Pokonya aktif banget." Gukapi menimpali.
Dokter mencatat semua apa yang dikatakan Gukapi dan Lowani. Sesaat kemudian, petugas kesehatan itu kembali manatap keluarga pasien.