GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #12

Ramadhan di Cilacap

Sejak kabar dari dokter menghantam keluarga kecil itu, kehidupan Lonawi dan Gukapi berubah drastis. Lonawi memutuskan untuk kembali ke Cirebon dan merawat Syanti dengan penuh perhatian. Rumah kecil di Jamblang, tempat mereka tinggal bersama Mak Iyem menjadi saksi betapa kuatnya seorang ibu yang berjuang demi kesehatan anaknya.

Udara pagi yang segar membawa aroma daun pisang dan kayu bakar dari dapur. Lonawi sibuk menyiapkan sarapan sederhana untuk Syanti, Ajeng dan Mak Iyem. Meski pikirannya sering kali terbebani oleh kekhawatiran, Lonawi selalu berusaha untuk tetap kuat. Setiap hari, ia merawat Syanti dengan penuh kasih, memastikan anak itu mendapat perawatan terbaik yang bisa dia berikan.

Di sisi lain, Gukapi tetap fokus pada bisnisnya di Depok. Kehidupan di sana semakin sibuk. Di bawah naungannya, sekarang ada sekitar 15 orang yang bekerja keras untuk memasok barang-barang ke toko-toko se-Jabotabek. Meski begitu, Gukapi tetap turun tangan sebagai pedagang mainan, berkeliling dengan penuh semangat dan antusiasme.

Ramadhan tahun 1990, kesempatan emas datang menghampiri Gukapi. Sebuah event besar di Taman Hiburan Cilacap akan digelar selama bulan puasa hingga lebaran. Mendengar hal itu, Gukapi melihat peluang untuk memperluas bisnis mainannya.

"Ini kesempatan bagus, Kang. Apalagi saat lebaran nanti. Anak-anak pasti akan banyak yang membeli mainan," ujar Jaluga, adik Lonawi yang kali ini bersedia menemani Gukapi ke Cilacap.

Suatu malam, di kontrakan mereka di Depok, Gukapi dan Jaluga duduk berdua di ruang tengah. Lampu minyak memberikan cahaya temaram yang membuat bayangan mereka terpantul di dinding. Gukapi sibuk menyiapkan daftar barang-barang yang harus dibeli sebelum mereka berangkat.

“Kita harus beli tenda dan kayu penyangga di Cilacap nanti. Soalnya gak bisa bawa semuanya dari sini, terlalu banyak,” ujar Gukapi sambil mengecek kembali catatannya.

Jaluga mengangguk setuju. “Benar, Kang. Kita beli di sana aja. Lebih praktis. Saya juga sudah siapin uang cadangan untuk kebutuhan mendadak.”

"Kalau bisa kamu pulang dulu aja ke Cirebon sebelum bulan puasa, bawa motor sama aku nitip uang buat kakakmu dan anak-anaknya."

Jaluga mengangguk siap. Lagi pula, ia juga harus izin pada istrinya untuk ikut pergi bersama Gukapi ke Cilacap, serta memberitahu tidak bisa pulang saat lebaran.

Jaluga pergi ke Cirebon dan balik lagi ke Depok dalam waktu sehari semalam. Ia membawa kabar bahwa istrinya sedang hamil. Sedangkan suhu tubuh keponakannya kembali panas. Namun Lonawi menyampaikan agar Gukapi tidak perlu khawatir, karena Syanti sudah dibawa ke dokter. Di rumah juga banyak kerabat yang jenguk.

Setelah menerima kabar itu, Gukapi mempersiapkan kembali barang dagangan dirinya bersama Jaluga. Dengan segala persiapan yang matang, mereka berdua akhirnya berangkat ke Cilacap sehari sebelum Ramadhan dimulai. Gukapi membeli barang-barang dari Jakarta berupa mobil-mobilan, boneka, dan berbagai mainan tradisional yang selalu menjadi favorit anak-anak. Semuanya dimuat dalam satu truk besar yang mengangkut dagangan mereka bersama orang-orang dari berbagai daerah dengan tujuan searah.

***

Sesampainya di Cilacap, orang-orang sibuk mendirikan tenda dan stan, bersiap untuk menyambut pengunjung yang akan membanjiri tempat itu selama bulan puasa. Gukapi dan Jaluga tak mau ketinggalan. Mereka segera membeli tenda dan kayu untuk penyangga stan, lalu mulai membangun di lokasi yang strategis—di dekat pintu masuk taman hiburan, tepat di depan laut yang tenang.

Angin laut yang sejuk membawa aroma asin yang khas, menyatu dengan suara riuh rendah orang-orang yang sibuk bekerja. Gukapi dan Jaluga bekerja tanpa lelah, menyiapkan segala keperluan stan mereka dengan penuh semangat.

“Stan kita harus terlihat menarik, Jal. Biar anak-anak tertarik datang ke sini,” kata Gukapi sambil memastikan setiap mainan tertata rapi di rak-rak kayu yang mereka pasang.

Jaluga tersenyum lebar. “Tenang, Kang. Aku yakin stan kita akan jadi salah satu yang paling ramai nanti.”

Memang banar apa yang dikatakan Jaluga, ketika event itu resmi dibuka, stan Gukapi langsung menarik perhatian. Anak-anak yang datang bersama orang tua mereka tak bisa menahan diri untuk mampir dan melihat-lihat mainan yang ditawarkan. Tangan-tangan kecil mereka sibuk menunjuk mainan yang mereka inginkan, sementara para orang tua tersenyum melihat kegembiraan anak-anak mereka.

Minggu demi minggu berlalu, dan semakin banyak orang yang datang ke Taman Hiburan, terutama menjelang lebaran. Anak-anak yang mendapat THR dengan gembira membelanjakan uang mereka untuk membeli mainan. Stan Gukapi menjadi salah satu yang paling laris. Mainan-mainan yang dijualnya sebagian ludes terjual, dan Gukapi pun tidak bisa belanja lagi karena barang itu dari Jakarta.

Suasana di sekitar stan Gukapi selalu ramai. Tawa anak-anak yang gembira, suara pedagang yang menawarkan barang jualan mereka, serta gemuruh ombak laut di kejauhan menciptakan harmoni yang indah. Meski lelah, Gukapi merasa bahagia melihat usahanya membuahkan hasil.

Sore itu, setelah seharian melayani pelanggan, Gukapi duduk di bangku kayu di depan stannya. Jaluga datang membawa segelas teh manis hangat yang baru saja dibelinya dari pedagang keliling.

“Alhamdulillah, laris ya, Kang." Jaluga melempar senyuman. "Balon aku juga habis gak ada sisa, kita sukses besar di sini,” kata Jaluga sambil menyerahkan gelas itu kepada Gukapi.

Gukapi mengangguk, mengambil segelas teh manis dengan senyuman puas di wajahnya. “Alhamdulillah, Jal. Ini semua karena kebaikan Allah perantara kerja keras kita. Tapi yang paling penting, kita harus tetap rendah hati dan bersyukur.”

Lihat selengkapnya