Rumah Kiai Haji Hamzah terletak di pinggiran desa, dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi. Gukapi datang dengan hati dipenuhi kegelisahan. Setiap langkah menuju rumah kiai diiringi oleh beban pikiran yang semakin berat. Gosip tentang dirinya melakukan pesugihan terus menghantui meski ia berusaha untuk tidak memikirkannya. Namun, hari demi hari, hinaan dan sindiran dari orang-orang di sekitarnya seperti duri yang menusuk hati.
Pagi itu, Gukapi tiba di rumah Kiai Haji Hamzah. Suasana halaman rumah yang sejuk dengan angin sepoi-sepoi membuatnya merasa sedikit tenang. Kiai Hamzah, seorang ulama yang dihormati di desa, sudah menunggunya di serambi rumah.
"Assalamu'alaikum, Pak Kiai," sapa Gukapi dengan suara yang lirih.
"Wa'alaikumussalam, Cung. Silakan duduk, tumben banget pagi-pagi datang ke sini?" tanya Kiai Hamzah sambil mempersilakan Gukapi duduk di tikar anyaman yang tergelar di lantai.
Gukapi duduk dengan hati-hati, merasa sungkan untuk langsung mengutarakan masalahnya. "Pak Kiai, saya datang ke sini mau minta nasihat. Akhir-akhir ini saya sering mendengar gosip yang tidak enak tentang saya dan istri. Mereka bilang, kami melakukan pesugihan... fitnah itu sampai terdengar langsung sama mertua. Demi Allah, selama ini saya mencari rezeki halal untuk keluarga, tapi orang-orang terus saja menggunjing."
Kiai Hamzah mengangguk pelan, menatap Gukapi dengan mata yang penuh pengertian. "Fitnah memang berat, Cung. Kata nabi, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan. Tapi ingatlah, setiap ujian yang kita hadapi itu tanda bahwa Allah masih sayang. Apalagi fitnah yang tidak berdasar seperti ini."
Gukapi menghela napas panjang. "Saya mencoba sabar, Pak Kiai, tapi hati ini kadang tidak kuat. Saya ingin tahu, apa yang harus saya lakukan agar lebih sabar menghadapi semua ini?"
Kiai Hamzah tersenyum bijak. "Sabar itu memang tidak mudah, Cung. Namun, ada beberapa amalan yang bisa membantu menenangkan hati. Perbanyaklah membaca istighfar, zikir di pagi dan sore hari, serta salat tahajud di sepertiga malam terakhir. InsyaAllah, hati akan lebih tenang, dan Allah akan memberikan jalan keluar dari setiap masalah."
Gukapi mengangguk, merasa sedikit lega setelah mendengar nasihat dari Kiai Hamzah. Ia berterima kasih dan pamit pulang, dengan tekad untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Namun, ketenangan yang dicari Gukapi tidak berlangsung lama. Setelah gosip tentang pesugihan mulai mereda, datang hinaan baru yang lebih menyakitkan, kali ini dari istri Prawi, kakak iparnya sendiri. Suatu siang, saat Lonawi sedang belanja di warung sekitar Borgol, Prawi memintanya mampir. Ada mangga yang harus dibawa untuk Mak Iyem dan Ajeng.
Sambil menunggu Prawi, Lonawi menunggu di ruang tamu. Namun, istri Prawi menghampirinya dengan nada bicara yang sinis.
"Gukapi di Depok?" tanyanya.
Lonawi mengangguk-angguk. "Iya, Kang."
Lonawi ingat sekali terakhir datang ke tempat itu saat Syanti sedang sakit dan butuh uang untuk susu. Tabungan dari Gukapi sempat habis akibat biaya perawatan dokter yang terlalu mahal. Sedangkan Gukapi berada di Cilacap, tak ada seorang pun yang bisa dititipkan uang anak dan istrinya.
Ucapan istri Prawi masih menggantung di ingatannya. Hinaan atas kedudukan Gukapi yang merantau tapi tak punya uang untuk membeli susu anaknya sudah sangat membuatnya sakit hati. Sekarang, apa lagi yang hendak dikatakan wanita itu?
"Bertahun-tahun di Depok tuh masih ngontrak apa udah punya rumah sendiri?" tanya Bu Prawi.
"Masih ngontrak, Kang."
"Percuma, ya, suamimu kerja di perantauan, tapi rumah masih saja gubuk seperti itu, udah mah di Depok masih ngontrak!" kata istri Prawi sambil tersenyum sinis. "Apa gak malu sama adik aku tuh, di Jakarta udah punya rumah sendiri?"
Lonawi yang awalnya tidak ingin ambil pusing dengan omongan istri dari kakak iparnya, kali ini merasa benar-benar tersinggung. Sepulang dari warung, ia menceritakan semuanya kepada Mak Iyem dengan nada kesal.
"Mak, masa tadi aku dihina lagi sama istri Kang Prawi. Katanya, percuma kerja keras di perantauan kalau rumah kita masih kayak gini, mana di Depok masih ngontrak," ucap Lonawi dengan suara bergetar menahan emosi.
Mak Iyem terdiam sejenak, merasakan kemarahan dan kesedihan yang sama. Ia tahu betul bahwa rumah mereka memang tidak sebesar dan semewah rumah anak tirinya di Plumbon. Namun, bukan berarti ia tidak berusaha memberikan yang terbaik untuk keluarganya. Lagi pula, hampir seluruh rumah di Bojong Utara dan Timur bentuknya sama.
"Wi, jangan pikirkan omongan mereka," ujar Mak Iyem. "Tapi kalau memang kamu ingin punya rumah yang lebih baik, insyaallah bisa! Kamu sama Gukapi harus mulai menabung. Emas yang kamu punya dari hasil usaha itu nanti bisa dijual, terus bangun rumah pelan-pelan."
Lonawi mengangguk, setuju dengan usul ibunya. "Emak benar. Aku harus ikut Bapa Ajeng ke Depok lagi, Mak. Hasil jualan nasi itu lumayan. Kalau aku titip Ajeng lagi, Emak keberatan enggak?"
Mak Iyem merasa tidak keberatan. Ia sangat mendukung Lonawi mengejar mimpinya.
***
Cirebon, Tahun 1991
Hari-hari berikutnya Gukapi pulang ke Cirebon membawa emas dan hasil usaha selama dua bulan. Lonawi pun mengutarakan mimpinya yang tumbuh setelah dihina oleh istri Prawi. Gukapi pun merasa wajib mendukung keinginan istrinya.
"Tapi biar jualan nasi rame, anak buah juga harus bertambah, Ma. Bapa udah kasih usaha gantungan ke Jaluga, jadi pemasukan di musim hujan kayak gini gak banyak. Terus, kemarin kita habis-habisan buat Syanti, Ma."
"Jadi maksudnya gimana?" tanya Lonawi.
"Kita perlu modal tambahan." Gukapi menghela napas. "Sama ini, Ma... pemilik kontrakan ngabarin katanya rumah itu mau dijual."
"Ya Allah, berarti harus pindah, Pa?"
Gukapi mengangguk. "Iya, harus pindah dan memerlukan biaya lagi buat angkut barang-barang dan belum tentu juga biaya kontraknya sama."
"Coba pinjam uang sama Kang Prawi, Pa," ucap Lonawi. "Tapi jangan sampai ketahuan istrinya!"
"Mana bisa gitu, Ma. Pasti Kang Prawi bakal cerita, namanya juga suami istri," ujar Gukapi.
Lonawi terdiam. Jika istri Prawi sampai tahu dirinya meminjam uang, pasti akan lebih dihina. Ia tak mau itu terjadi lagi.
"Ya udah, aku mau coba pinjam ke Emak."
Gukapi pun mengangguk. Sambil menunggu kabar dari istrinya, ia memilih tidur siang. Sedangkan Lonawi pergi ke kamar ibunya untuk menceritakan keluhannya. Begitu bertemu, ia langsung mengutarakan niat untuk meminjam uang.
"Buat apa?" tanya Mak Iyem.