GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #14

Matematika Allah

Seseorang mengantar Lonawi dan Napi ke kontrakan Gukapi. Meski sudah sadar sepenuhnya, tetapi Lonawi sangat terpukul akibat kehilangan emas lebih dari lima puluh gram. Sedangkan Napi, ia masih berdiam diri seolah jiwanya tidak menyatu dengan raga setelah seseorang dengan sengaja menghipnotis mereka. Di hari yang sama, ternyata Suwiryo juga terhipnotis. Semua dagangan ludes tak tersisa dibawa kabur pelakunya.

Lonawi berbaring di tempat tidur, wajahnya masih tampak lesu dan mata sembab karena menangis. Sejak kejadian di pasar, ia merasa seolah-olah dunianya runtuh. Semua harapan dan impian untuk membangun rumah yang layak musnah dalam sekejap.

Gukapi duduk di samping tempat tidur, memandang istrinya dengan perasaan campur aduk. Ia ingin marah, tetapi yang lebih mendominasi adalah rasa kasihan dan prihatin melihat kondisi Lonawi.

"Maaa, udah jangan nangis terus," ucap Gukapi lembut, berusaha menahan emosinya. "Rezeki bisa dicari lagi, Ma. Allah pasti punya rencana yang lebih baik untuk kita."

Lonawi menatap suaminya dengan mata yang penuh air mata. "Pa, semua emas yang hilang itu kita kumpulkan selama sembilan tahun. Apa kita harus menunggu selama itu untuk bisa membangun rumah?"

Gukapi menyentuh tangan Lonawi, merasakan dinginnya kulit sang istri yang memucat. "Jangan memperhitungkan matematika Allah, Ma. Sembilan tahun itu kan yang sudah kita jalani. Kalau Allah mau ngasih, bulan depan atau bahkan besok pun kita bisa mendapatkan harta itu lagi. Kita tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi kita bisa memilih bagaimana menghadapi ini." Gukapi menghela napas. "Aku yakin, Allah tidak akan meninggalkan begitu saja. Kita masih punya peluang, dan aku akan bekerja lebih keras untuk mendapatkan kembali yang sudah hilang."

Kata-kata Gukapi perlahan menguatkan hati Lonawi. Meski rasa kehilangan itu masih terasa menyesakkan, ia tahu bahwa Gukapi benar. Mereka tidak boleh menyerah begitu saja. Lonawi berusaha untuk bangkit, meski hatinya masih terasa berat.

Sampai di hari ketiga setelah musibah itu berlalu, Lonawi baru bangkit dari kesedihannya. Di hari yang sama pula Napi dan Suwiryo sadar berbarengan.

Setelah kondisi Lowani membaik, Gukapi menggunakan stok sayur dan bahan jualan Lonawi untuk masak-masak besar. Hari ini mereka mengadakan syukuran atas nikmat yang telah Allah berikan.

Beberapa tetangga sekitar kontrakan diundang dari kalangan penduduk lokal, turunan Arab bahkan habib dan syarifah. Tetangga yang biasa membeli masakan pada Lonawi keheranan dengan tindakan Gukapi.

"Pak... ini syukuran apa, ya? Bukannya kemarin habis dapat musibah?" tanya seorang ibu-ibu usai acara marhabanan selesai.

Gukapi melempar senyuman. "Syukuran, Bu. Alhamdulillah meski kemarin dapat musibah, tapi Allah masih kasih keselamatan dan kesehatan untuk saya dan istri." Pria itu menghela napas. "Mohon doanya, ya, Bu... Pak... semoga kami semua selalu dalam lindungan Allah."

Gukapi juga berencana ingin memberikan hidangan syukuran itu kepada Karto ditemani Wiryo. Sampai di tempat yang berjarak hanya 10 menit saja, mereka disambut oleh penghuni rumah.

"Wah... acara apa ini?" tanya Karto sambil menerima bingkisan dan mempersilakan tamunya masuk.

Baru saja duduk, pandangan Wiryo terpusat pada sebuah barang yang ditumpuk di sudut ruang tamu.

"Kar... itu barang dari mana?" tanya Wiryo pemasaran.

"Oh, itu barang dari Darman. Dua hari lalu dia jual barang itu dengan harga murah. Katanya lagi butuh uang."

Gukapi mengerutkan kening. Ia ingat, anak buahnya itu pulang ke kampung dua hari lalu.

Wiryo beranjak dari duduknya dan mendekati barang-barang itu. Ia mengamati dan memeriksa dengan baik.

"Kar... ini mah barang dagangan aku yang dibawa kabur orang, dua hari lalu!" aku Wiryo.

"Mana bisa! Aku beli langsung sama Darman, istriku saksinya."

Gukapi yang mendengar perdebatan itu pun menyampaikan bahwa tiga hari lalu istrinya serta Suwiryo telah dihipnotis. Anehnya, pelaku itu sangat mengenal baik latar belakang Lonawi, mulai dari kehidupan pribadi sekali pun.

"Jangan-jangan penipu itu kerjasama dengan Darman!" tuduh Suwiryo.

"Ya aku mah gak ada urusan! Mau itu barang kamu atau barang orang lain, yang jelas aku udah beli." Karto tampak emosi dan tidak terima jika dirinya diduga membeli barang curian.

"Ya udah, Su... kita semua kena musibah. Kamu gak perlu bayar barang dagangan itu, gak apa-apa." Gukapi berusaha menenangkan sahabatnya. Pasalnya, barang dagangan Suwiryo sebagain besar adalah miliknya.

Gukapi dan sahabatnya kembali ke kontrakan. Pikirannya benar-benar tertuju pada Sudarman. Pasti ada orang dalam di antara para penipu itu. Tidak mungkin orang asing bisa dengan detail mengenal Lonawi dan dirinya.

Sejak kejadian itu, Lonawi tak pernah mau memakai perhiasan secara berlebihan. Beberapa emas yang masih tersisa disimpan dengan baik hanya dirinya dan Gukapi yang tahu dimana letaknya.

***

Lihat selengkapnya