Depok, Tahun 1996
Sejak pindah ke lingkungan baru yang lebih kental dengan ajaran agama Islam, Lonawi mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Dulu, ia selalu ingin menampakkan rambutnya yang kerap diwarnai cokelat keemasan. Namun sekarang ia memutuskan untuk mengenakan hijab syar’i, mengikuti gaya hidup yang lebih dekat dengan nilai-nilai keagamaan yang dianut oleh tetangga barunya. Rumah kontrakan itu diapit oleh orang-orang keturunan Arab dari yang ahwal–orang biasa, sampai habib dan syarifah–keturunan Nabi Muhammad langsung.
Hidup mereka kini lebih seimbang. Meski godaan dan cobaan masih datang, mereka yakin bisa melewati semuanya dengan kekuatan doa dan usaha. Di tengah rutinitas baru ini, Gukapi tak pernah lupa bersyukur atas rezeki yang ia dapatkan, dan setiap malam sebelum tidur, keduanya selalu berdoa agar Allah terus melindungi keluarga mereka dari segala bentuk fitnah dan kejahatan.
Gukapi menyadari, bahwa meskipun hidup di dunia penuh dengan cobaan, selama ia tetap berpegang teguh pada prinsip kebaikan, segala ujian akan terasa ringan. Dan di dalam rumah baru yang kini berdiri megah di kampungnya, ia merasa lebih siap untuk menghadapi apapun yang akan datang di masa depan.
Sore ini, Gukapi tiba di rumah pelanggan barunya. Seorang pria keturunan Arab yang menikahi wanita lokal asal Jawa. Belum selesai transaksi, azan magrib lebih dulu berkumandang.
"Salat di dalam dulu aja, Pak Kumis," ujar pelanggannya.
"Boleh nih, Pak Haji?" Gukapi memastikan.
"Boleh lah, masa enggak." Pria itu buru-buru memasang keterangan ‘tutup sementara’ di atas etalase tokonya. "Ayok masuk Pak Kumis."
Gukapi membuntuti pemilik rumah. Sampai di dalam, ia melihat seorang gadis cantik bergamis serba hitam lengkap dengan hijab yang menutupi pergelangan tangan. Ia sibuk menyapu sambil membawa pengki khusus untuk di dalam rumah. Gadis itu tersenyum pada Gukapi sambil membungkukkan diri.
"Adira... tolong ambilkan minum ya buat teman Abah," pinta pria keturunan Arab itu pada gadis cantik di depannya.
Gadis bernama Adira itu mengangguk. Sesaat kemudian, ia membawakan secangkir teh hangat untuk Gukapi. Kemudian ia ikut salat bersama ayahnya menjadi makmum di baris paling belakang ditemani ibunya.
Usai salat, Gukapi diminta duduk di ruang tamu untuk istirahat sejenak. Sedangkan toko pelanggan itu dijaga anak gadis yang cantik tersebut.
"Anaknya usia berapa, Pak?" tanya Gukapi.
"Dua puluh tahun, Pak Kumis. Baru pulang dari Yaman."
"Wah, ngapain?"
"Pesantren di sana sama kakaknya. Tapi dia pulang, mau nikah."
Gukapi mengangguk-angguk. Pria itu merasa takjub dengan sopan santun anak dari pelanggannya itu. Ia beberapa kali melihat betapa penurutnya gadis itu pada ayahnya.
"Anak perempuan satu-satunya, alhamdulilah diberkahi kesalehan. Ibunya sayang banget, gak mau dia nikah cepat-cepat. Tapi kalau aku pengen Adira ini segera menikah supaya terhindar dari fitnah. Setelah itu dia bisa balik lagi ke Yaman."
Pelanggan Gukapi mengungkapkan bagaimana anaknya dididik dengan baik hingga tumbuh menjadi muslimah yang taat... Adira yang salilah. Alangkah bahagianya Gukapi jika memiliki buah hati seperti anak dari pelanggannya itu.
***
Cirebon, 21 Januari 1996
Matahari pagi menyinari halaman depan rumah Gukapi yang kini tampak megah, menandakan keberhasilan yang diraih setelah sekian tahun berjuang. Namun, di balik megahnya bangunan itu, hati Gukapi dan Lonawi masih dibayangi rasa kehilangan yang mendalam atas Syanti. Setiap sudut rumah seolah masih menyimpan kenangan akan tawa dan tangis putri kecil mereka yang telah pergi terlalu cepat.
Rasa kehilangan itu membuatnya rindu akan hadirnya keriangan anak kecil. Kerinduan itu semakin terasa ketika Lonawi sadar sudah sebulan lebih ia tidak datang bulan. Karena itulah ia diskusi dengan Gukapi untuk pergi ke dokter kandungan guna memastikan kabar yang mereka tunggu-tunggu.
Setibanya di klinik, Gukapi memperhatikan Lonawi yang tampak cemas di atas bed saat sedang diperiksa. Setelah beberapa saat menunggu, dokter meminta mereka duduk di kursi konseling. Suasana ruang periksa yang dingin seketika berubah lebih hangat saat senyum dokter menyambut mereka.
"Selamat, ya Pak Gukapi, Bu Lonawi," ujar dokter sambil menunjukkan hasil USG. "Kandungan Ibu sehat, dan usia kehamilannya sudah masuk minggu ke lima."
Lonawi yang sejak tadi menahan napas, mengembuskannya dengan lega. "Alhamdulillah...," bisiknya, menatap secarik kertas yang menunjukkan gambar janin kecil sedang berkembang dalam rahimnya.