9 Bulan yang Lalu, Setelah Kelahiran Adira
Rumah Gukapi di Cirebon yang terletak di Blok Karang Cantik dipenuhi hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Bangunan itu sekarang menjadi pusat aktivitas keluarga setelah kelahiran Adira. Namun, di balik suasana ramai, ada ketegangan yang mulai merasuk dalam hubungan antara Ajeng dan keluarganya.
Sebelum mereka pergi liburan sekolah ke Depok, di sore yang tenang suara azan asar bergema dari masjid agung Bojong Utara. Seharusnya, Ajeng sudah bersiap untuk pergi ke rumah guru ngaji bersama anak-anak lainnya di kampung. Namun, Ajeng justru sibuk bercanda di halaman samping, asyik main gobak sodor bersama anak-anak yang tidak pernah mengaji.
Lonawi yang sedang berusaha menjaga Adira agar tidak terbangun dari tidur siang mendengar tawa Ajeng. Karena khawatir bayinya terbangun, ia buru-buru mendekati Ajeng dengan raut wajah yang serius.
“Ajeng, udah asar itu! Kenapa belum siap-siap berangkat ngaji?” bentakan Lonawi terdengar menyakitkan di telinga Ajeng.
Ajeng menghentikan kegiatan sejenak. “Nanti, Ma... habis ini selesai, ya.”
Ajeng sibuk berlari ke kanan dan kiri tanpa memedulikan ibunya. Sesaat kemudian, ada temannya datang.
"Ajeeeng... ngaji, beli?"¹ tanya anak tetangga belakang rumah.
"Kalian berangkat duluan aja. Nanti aku nyusul habis ini."
Lonawi merasa sabarannya diuji. “Ajeng! Penting mana ngaji sama main?"
Sayangnya, Ajeng tidak menoleh. Lagi pula selama ini ia tak sekali pun dimarahi neneknya jika telat atau tidak berangkat mengaji. Karena itu ia abai pada perintah Lonawi.
Melihat sikap anak sulungnya tidak nurut, kemarahan Lonawi mulai membara. Dengan gerakan cepat, ia mencubit lengan Ajeng, membuat anak itu terkejut dan meringis kesakitan.
“Kalau dibilangin orangtua itu yang nurut, jangan bandel!” Lonawi menghardik. "Cepat mandi habis itu ngaji!"
Ajeng menangis pelan, rasa sakitnya tidak hanya di lengan tetapi juga di hati. Namun, tangisannya tidak cukup untuk meluluhkan hati sang ibu yang sudah lelah dengan segala kesibukan sehari-hari, termasuk merawat bayi dan mengurus rumah.
Bukannya pergi mandi untuk mengaji, Ajeng malah lari ke belakang rumah sambil menangis mencari pertolongan Mak Iyem.
Merasa tidak cukup memberi peringatan pada Ajeng, Lonawi menghampiri Gukapi yang tengah berbaring di kamar lain. Ia membangunkan suaminya yang sedang tidur sejak sejam lalu.
“Pak... bangun! Itu si Ajeng gak mau ngaji lagi! Aku udah cubit, tapi masih saja nggak mau nurut.” Lonawi menghela napas. "Dia malah pergi ke belakang."
Gukapi yang masih setengah sadar terbangun dengan perasaan marah setelah mendengar keluhan istrinya. Tanpa banyak bicara, pria itu bangkit dan mendatangi Ajeng yang masih terisak di belakang rumah ditemani beberapa anak tetangga.