GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #17

Tambak Udang Indramayu

Cirebon, Tahun 2000


Sudah lebih dari lima tahun Gukapi menjadi bos buku tiap libur kenaikan kelas, dari situlah ia bisa menabung dan membeli segala kebutuhan serta keinginan untuk anak dan istrinya. Bahkan, ia juga sering membagikan segala jenis buah-buahan agar tetangganya bisa merasakan hal yang sama.

Meski sudah memiliki penghasilan yang lebih dari cukup, pria itu selalu mencari cara untuk memperbanyak usaha jika memang ada peluang.

Sejak tahun lalu, Kadi dan beberapa relasi menawarkan bisnis tambak udang. Meski tak tahu bagaimana teknisnya, Gukapi sangat tertarik untuk mencoba usaha itu.

“Ini prospek yang bagus, Kang. Apalagi di sana dekat sama kakak ipar aku. Pasti bisa dijaga. Nanti Kang Gukapi bisa tetap fokus usaha di Depok,” ujar Sunar pada kakaknya yang sedang berkumpul di teras.

"Kang Kadi juga udah terjun ke dunia Tambak Udang, Pa. Kalau mau coba, ya sok aja." Lonawi menimpali.

"Masalahnya bisnis tambak udang ini modalnya gak cukup satu-dua juta, Ma... tapi puluhan. Bapak gak bisa gegabah."

"Kang Gukapi tenang aja, nanti aku bakal tanggung jawab ngerawat." Sunar meyakinkan.

Gukapi terdiam. Ia masih memikirkan seperti apa keuntungan yang ada di depan mata jika ia terjun ke bisnis tambak udang?

"Sekali meledak, dalam satu empang itu bisa dapat keuntungan sekitar seratus juta, Kang." Sunar menjelaskan.

"Berapa kira-kira modal untuk mendapatkan keuntungan segitu?" tanya Gukapi.

"Ya... sekitar tiga puluh sampai empat puluh ribu bibit udang, Kang."

"Panennya berapa bulan, ya?"

"Normalnya itu tiga sampai empat bulan, Kang. Kalau orang kaya banget yang gak buru-buru dapat duit, mereka panen di bulan ke empat."

Sunar juga menjelaskan bahwa kakaknya itu bisa dengan mudah membeli Daihatsu Taruna yang sedang populer, jika terjun ke bisnis tambak udang.

Setelah mendengar apa yang disampaikan sang adik, Gukapi menimbang-nimbang lagi. Karena bukan hanya Sunar yang menawarkan usaha tersebut, pria itu sangat tertarik.

"Ya udah, aku mau beli bibitnya. Tapi kamu yang urus, ya. Nanti pekerjakan juga orang-orang lokal di sana biar selalu terpantau," ucap Gukapi.

Dengan semangat, Gukapi memutuskan untuk menyerahkan pengelolaan tambak kepada adiknya. Mereka sepakat bahwa Sunar akan menangani semua aspek operasional bisnis tersebut. Modal untuk usaha itu diambil dari tabungan naik haji Gukapi dan Lonawi, sebuah keputusan besar yang diambil dengan penuh pertimbangan.

Di awal bisnis ini, setidaknya Gukapi menggelontorkan uang sebanyak 20 juta untuk membeli 35.000 bibit udang. Tiap harinya, Gukapi harus mengeluarkan uang Rp. 300.000,- untuk pakan udang dalam satu empang. Ia juga harus membayar dua pegawai yang menjaga kolam secara bergantian. 

Empang berisi udang itu berada di pesisir Karang Ampel, laut Indramayu yang jaraknya kurang lebih satu jam dari kediamannya di Jamblang.

Seperti yang sudah dijelaskan di awal. Gukapi tetap fokus usaha di Depok, sedangkan tambak udang itu akan dipantau Sunar tiap seminggu sekali. Namun, seiring berjalannya waktu, masalah mulai muncul. 

Sunar secara rutin meminta uang untuk pakan udang, yang tampaknya tidak pernah cukup. Gukapi sering menerima telepon dari adiknya yang mengeluh tentang biaya yang semakin meningkat. Kabar tidak enaknya, di bulan ke dua, udang-udang milik Gukapi mengambang tak bernyawa. 

Lonawi yang mendapat informasi tersebut buru-buru mengunjungi empang bersama adik iparnya. Tak lupa, ia selalu membawa Adira, gadis kecil yang dianggap sebagai anak bungsu di keluarga itu.

Sambil menunggu Sunar membeli minuman dingin bersama Adira, Lonawi mengunjungi nelayan setempat dan peternak udang lain yang berada tak jauh dari empannya.

"Pak... udang-udangnya banyak yang mati juga?" tanya Lomawi.

"Iya, Bu... padahal kita jaga dua puluh empat jam. Tetap aja ada yang mati. Apalagi empang Ibu yang gak dijaga secara rutin." 

Lonawi mengerutkan kening. Ia heran, kenapa orang itu menyebut empannya tidak dijaga? Bukankah ia sudah membayar dua orang untuk betugas menjaga kolam udang?

"Maaf, Pak... tapi saya udah minta kenalan Sunar untuk menjaga empang. Suami saya rutin kirim uang tiap minggu untuk upah mereka."

"Buu... mohon maaf sebelumnya. Tapi saya jarang lihat ada orang yang jaga kolam punya Ibu."

Lonawi menghela napas. Pantas saja udang-udangnya mati sebelum dipanen. Kemungkinan besar, kondisi air yang kotor menjadi pemicu udang-udang itu mati.

Saat pulang ke Jamblang, Lonawi pergi ke rumah orang yang menyediakan sambungan telepon. Ia langsung memberi kabar suaminya tentang kondisi kolam yang tidak sebersih milik orang lain dan pegawainya tidak amanah.

Dari dalam sambungan telepon, Gukapi terdengar menghela napas panjang, merasakan beban yang semakin berat. “Astaghfirullah... ya udah, Ma. Udang yang itu dikuras aja. Bawa pulang yang masih bisa dikonsumsi. Bagikan ke tetangga dan kalau ada yang bisa dijual, jual aja dengan harga murah."

Lonawi pun menuruti instruksi suaminya. Sunar dibantu dua pegawai lokal menguras empang milik Gukapi. Namun, meski mengalami kegagalan, mantan bos ember itu tidak juga menyerah. Sepulang dari Depok, ia kembali menanam bibit udang sebanyak 45.000 ekor di bulan Maret. Gukapi lagi-lagi menggelontorkan uang tabungan haji, kali ini lebih banyak dari sebelumnya yaitu senilai 26 juta.

Sejak tiga tahun lalu, Gukapi memiliki televisi berwarna merek GoldStar sebelum ganti logo menjadi LG beserta parabolanya. Karena itu, banyak orang yang berbondong-bondong berkumpul di ruang tengah berukuran 4 x 7 meter tersebut untuk menyaksikan hiburan paling beken di layar kaca berwarna itu, dari yang muda sampai tua.

Saat menghadapi kesulitan di bisnis tambak udangnya, Gukapi menawarkan orang-orang dari Jamblang yang biasa kumpul di rumah menonton televisi untuk menjadi penjaga empang.

Beruntung ada dua pemuda, tetangga samping rumah yang berkenan menjadi pegawainya. Mereka tinggal di dalam gubuk si samping kolam udang dengan bayaran yang sepadan. 

Sebulan setelah penanaman bibit kedua, udang tampak berkembang biak dengan baik. Gukapi dan Lonawi senang bukan main mendengar kabar itu. Udangnya terlihat tumbuh dengan baik. Bayang-bayang Daihatsu Taruna senilai 94 juta pun terasa lebih dekat. Keduanya optimis udang-udangnya kali ini akan sukses dipanen di bulan ke empat.

***

Depok, Juni Tahun 2000


Lihat selengkapnya