Cirebon, Tahun 2003
Ajeng sudah berada di tahun terakhirnya di SMA. Di usianya yang menginjak 20 tahun, Ajeng telah berubah menjadi ABG yang cantik dan cerdas. Tak ada lagi rasa iri pada Adira, yang ada hanya kasih sayang tak terhingga.
Ajeng tak segan menyisihkan uang jajannya untuk membelikan mainan, baju, hingga buku-buku anak untuk adiknya. Adira pun amat bahagia memiliki kakak seperti Ajeng. Di usianya yang jalan 7 tahun, gadis yang diberi nama atas inspirasi ayahnya itu sangat mengidolakan sang kakak, hingga ia bermimpi kelak ingin seperti Ajeng. Kedua kakak beradik itu tampak bahagia. Namun, di balik kerukunan dengan sang adik, hubungan orangtuanya perlahan mulai terasa rapuh.
Hari itu, Ajeng merasakan suasana di rumah Gukapi penu ketegangan. Kabar mengejutkan datang seperti badai yang tiba-tiba mengacaukan ketenangan keluarga.
"Kalau Bapak gak percaya, berarti bapak benar-benar mau pisah sama Mama!" Suara Lonawi terdengar nyaring di telinga Ajeng.
Di dalam kamar utama, Gukapi terdiam mendengar ucapan Lonawi. Ia mengingat kejadian beberapa hari lalu yang membuat dirinya tak segan menceraikan istrinya.
Saat sedang di Depok, ia mendapat telepon dari Sunar secara mendadak. “Kang, isun oli kabar Kang Lonawi lunga karo lanang sejen. Jare wong-wong, munie lanange sampe adus ning uma e perkara."¹
Gukapi yang sebelumnya berdiri tegak sambil memegang gagang telepon pun mendadak lemas. “Maksudnya gimana?"
"Coba tanya aja sama Kang Lonawi, sekarang dia lagi di mana?" Sunar berhenti sejenak, mengambil napas panjang sebelum menjawab. “Aku dapat kabar dari Sudarman, katanya Kang Lonawi selingkuh sama polisi desa.”
Sekejap suasana menjadi sunyi. Gukapi tertegun. Matanya melebar, menatap tembok tempat kabel telepon tersambung tanpa berkata-kata. Kabar dari Sunar seolah menghantamnya dengan keras. Pria berkumis tebal itu menutup sambungan telepon tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Tak lama setelahnya ia langsung menghubungi Lonawi.
Dari belakang motor, Lonawi buru-buru mengangkat telepon dari suaminya. "Iya, Paa... assalamu'alaikum."
Gukapi tak mendengar salam istrinya. "Mama lagi di mana?"
"Lagi di jalan pulang dari Brebes."
"Sama siapa? Kenapa Mama pergi gak izin dulu sama Bapak?"
"Astaghfirullah, iya, Pa... maafin Mama. Ini Mama buru-buru karena Ajeng telepon." Lonawi menghela napas. "Pacarnya kecelakaan, Pa. Ajeng nangis-nangis telepon minta Mama untuk cek TKP. Alhamdulillah anaknya mah baik-baik aja. Sekarang Mama lagi sama Pak Poldes."
"Mama sadar enggak pergi sama laki-laki lain? Kenapa Mama gak izin sama suami?" Gukapi berdecak kesal. "Sekarang juga Bapak mau pulang ke Cirebon!"
Gukapi mematikan telepon tanpa mau mendengar penjelasan istrinya. Ia buru-buru berkemas dan langsung mengendarai motor GL Pro menuju kampung halaman.
Tangisan Lonawi di hadapannya memecah lamunan Gukapi. Pria itu sejenak menatap istrinya. Kemudian ia bergegas keluar dari kamar.
Saat punggung Gukapi sudah tak terlihat, tangisan Lonawi semakin pecah. Wanita itu memejamkan mata seraya mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.
Sudah tiga tahun sejak gagal tambak udang dan berhenti menjadi pengepul padi, Lonawi membuka warung kopi, mi dan nasi di tengah-tengah sawa tiap panen datang. Orang-orang berkomentar untuk apa wanita itu berjualan? Padahal penghasilan suaminya sudah cukup memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, Lonawi yang biasa memegang banyak uang dari jerih payahnya sendiri merasa hambar jika tidak bekerja.
Warung kopi di tengah sawah itu ramai pengunjung, para petani yang biasanya kesusahan mencari jajanan, kini bisa dengan mudah mendapatkannya. Adira yang masih berusia 7 tahun pun selalu ikut dengan ibunya. Gukapi juga merestui bisnis istrinya itu asal ditemani wanita lain, seperti pengasuh Adira. Namun, di dalam lubuk hati Gukapi, ia menyimpan rasa cemburu dan khawatir. Istrinya yang sangat cantik itu pasti banyak disukai laki-laki. Karena itu ia selalu meminta laporan pada Yati, pengasuh Adira terkait kegiatan Lonawi di warung.
Pagi menjelang siang, Lonawi yang baru saja membuka warung di tengah sawah mendapat kabar tentang kecelakaan pacar Ajeng. Karena rasa sayang pada anak sulungnya, ia pun menuruti permintaan tersebut.
"Ya udah Ma, telepon Pak Poldes aja," usul Yati.
"Kamu aja nanti yang hubungi dia, Yat. Sebenarnya aku gak khawatir sama anak yang kecelakaan, tapi aku khawatir sama Ajang. Dia nangis-nangis di telepon, katanya pacarnya ditangkap polisi di Brebes."
Yati langsung menghubungi polisi asal Kalimantan yang sedang bertugas di Desa Bojong Utara. Pria itu gagah dan tampan, kulitnya putih dengan kumis tebal. Wanita dewasa yang normal pasti akan menyukainya. Namun tidak dengan Lonawi, wanita itu sangat setia pada suaminya dan hanya Gukapi yang ada dalam hatinya. Tapi tidak dengan Yati! Pengasuh Adira itu sangat menyukai sang polisi meski tahu bahwa abdi negara tersebut sudah berkeluarga.
Polisi desa itu mendatangi rumah-rumah orang penting dan kesohor untuk melakukan pendekatan, salah satunya Gukapi. Karena itu ia sangat akrab dengan keluarga bos buku tersebut, termasuk pengasuh Adira. Beberapa kali sang polisi juga menumpang mandi, tetapi itu terjadi saat ada Gukapi.
Saat polisi desa sampai di warung tengah sawah, Lonawi langsung duduk di belakang menaiki motor dinas itu. Ia menitipkan Adira dan warung pada Yati. Namun, Adira kecil yang melihat ibunya pergi pun kalap. Ia menjerit ingin mengikuti ibunya.
"Mamaaa.... Mamaaa... Mamaaa!" Adira berlari membuntuti motor yang ditumpangi ibunya.
"Jangan ikut! Di situ aja sama Mbak Yati!" teriak Lonawi dari atas motor yang sedang melaju.
"Gak mau, gak mau!" Adira duduk di tanah sambil menggosokkan kedua kakinya secara bergantian.
Yati buru-buru mendekati Adira. "Ayo Nok... sama Mbak Yati, ya. Nanti Mama balik lagi."
Adira menggeleng dan semakin keras menangis. "Gak mau! Gak mau!"
Gadis itu justru berlari dengan cepat berusaha mengejar ibunya. Yati yang sudah diamanahi Lonawi untuk menjaga warung pun kebingungan. Mana yang harus diprioritaskan? Adira yang sedang berlari mengejar ibunya, atau warung yang jika ditinggal berpotensi dicuri.
Yati lebih memilih menjaga warung dulu dan melayani orang-orang yang sudah mengantre untuk membeli nasi. Wanita itu benar-benar khawatir dengan Adira. Sampai mana bocah kecil itu mampu berlari?
Adira membelah jalanan sawah yang tanahnya kering kerontang akibat belum tersentuh air hujan selama berbulan-bulan. Terik matahari menyengat kulit bocah yang sedang berlari sambil menangisi ibunya. Tiap melewati kerumunan petani yang sedang membereskan padi di sisi jalan, mereka menanyakan ke mana ibunya?
"Hei, anak siapa itu dia lari-lari sambil nangis?"
Adira tak menjawab, ia tetap menangis berharap bisa bertemu dengan ibunya.
"Hei itu anaknya Kang Lonawi. Kenapa dia jalan sendirian?"
"Tadi aku lihat ibunya boncengan sama Pak Poldes." Seseorang menyahut.
Sepanjangan jalan, pertanyaan dan jawaban serupa selalu dilontarkan orang-orang. Jarak antara warung dan rumah Lonawi hanya 5 kilometer saja, tetapi jika ditempuh oleh anak usia 7 tahun dan berjalan kaki, Adira perlu waktu lebih dari satu jam untuk sampai. Apalagi, gadis itu sambil menangis.
Akibat melihat Adira yang luntang-lantung di jalan mengejar ibunya, orang-orang di Bojong Utara hampir semuanya tahu bahwa Lonawi pergi bersama polisi desa. Karena itulah gosip kejam telah sampai pada Gukapi. Bahkan, Sunar pun memanas-manasi kakaknya bahwa Adira ditelantarkan ibunya di sawah.
Padahal, Lonawi hanya pergi ke TKP kecelakaan pacar Ajeng. Setelah memastikan pemuda itu baik-baik saja, ia kembali pulang dengan tepat waktu. Bahkan, di perjalanan pun ia tak makan.
***
Setelah mengatakan ingin berpisah dengan Lonawi, Gukapi pergi ke rumah Prawi. Ia mengungkapkan rasa kecewa pada istrinya. Beruntung ia memiliki kakak yang bijak.