Cirebon, Tahun 2008
Udara di Cirebon terasa hangat, sama seperti suasana gedung Hotel Zamrud Kota Cirebon yang penuh kegembiraan. Ajeng baru saja lulus dan mendapat gelar Sarjana Hukum. Pencapaian yang tidak hanya membanggakan keluarga tetapi juga membawa namanya dikenal di fakultas. Ia terpilih sebagai lulusan terbaik kedua di Fakultas Hukum, sebuah prestasi yang mengesankan.
Setelah acara wisuda ditutup, seluruh peserta dibubarkan. Ajeng yang dibekali kamera oleh Lonawi berkumpul dengan teman-temannya untuk mengabadikan momen bahagia.
Lonawi dan Gukapi yang berada di kursi paling belakang kesulitan mencari Ajeng.
"Kita ke depan aja yuk, Pa. Barangkali Ajeng di sana sama temen-temennya." Lonawi mengamati mahasiswi lain.
Gukapi menuruti istrinya. Ia mengedarkan pandangan di setiap sudut gedung untuk menemukan putri sulungnya. Beberapa saat kemudian, pria itu melihat Ajeng sedang tertawa sambil berpose di depan kamera bersama teman-temannya.
"Ajeng! Kami susah paya nyariin, kamu malah di sini haha-hihi sama temen-temen!" Gukapi membentak Ajeng di depan banyak orang.
Ajeng yang terpojok pun merasa sangat malu. "Sebentar aja, Pa. Ini momen terakhir sebelum pisah sama temen-temen."
"Kamu tuh jawab aja ada orang tua ngomong!" Gukapi mengajak Lonawi keluar dengan isyarat mencolek lengan. "Adik-adik kamu itu di luar kepanasan!" Tanpa menunggu Ajeng, Gukapi langsung keluar.
Anak sulungnya yang baru wisuda itu membuntuti ayahnya dengan buru-buru tanpa sempat berpamitan dengan teman-temannya.
Ajeng pulang menggunakan mobil milik Kadi. Kakak dari ibunya itu memiliki showroom mobil dari usaha jual-beli dan rental kendaraan sejak beberapa tahun terakhir. Dalam Toyota Kijang keluaran baru, Ansori menyetir dengan enam penumpang. Selain Lonawi, Gukapi, serta ketiga anaknya, Prawi dan istrinya juga ikut hadir di acara tersebut.
Sampai rumah, Ajeng disambut oleh tetangganya. Di Bojong Timur, hanya ada beberapa orang saja yang mampu kuliah. Biasanya, mereka orang-orang yang terlahir dari keluarga berpendidikan tinggi, tidak seperti Ajeng. Meski ibu dan bapaknya hanya tamatan sekolah dasar, ia berhasil menjadi sarjana.
Ada sekitar 10 rumah tetangga yang keluarganya ikut foto bersama Ajeng. Usai foto-foto, Lonawi menaburkan uang dalam rangka sawer atas rasa syukur karena anaknya sudah lulus kuliah.
Beberapa hari kemudian, dinding rumah dipenuhi foto-foto keluarga dan beberapa penghargaan yang Ajeng dapatkan selama masa studinya. Di sudut ruangan, sebuah piagam dengan tulisan ‘Lulusan Terbaik Kedua Fakultas Hukum 2008’ tergantung dengan bangga. Ajeng duduk di sofa, memandang ke arah piagam itu dengan senyum tipis di wajahnya. Namun di balik senyum itu, ada perasaan yang berat di dalam hatinya.
Lonawi, yang sedang menyapu lantai, memperhatikan putrinya yang terdiam sejak tadi. "Ajeng, kamu kenapa diem aja?"
Ajeng mengangkat wajahnya, matanya berkaca-kaca. “Keinget Bapak marahin aku di depan teman-teman, Ma."
"Yah, Bapak kamu kan begitu! Maklumi aja, yang penting dia sayang sama kamu!"
"Sama ini, Ma... Mama tahu kan, aku udah dapat kesempatan kerja besar di firma hukum yang bagus. Bisa belajar langsung dari pengacara terkenal. Tapi Bapak nggak setuju aku jadi pengacara! Aku gak ngerti sama jalan pikiran Bapak."
"Ya pengacara itu kan orang salah dibela! Bapak gak mau kamu bela orang salah, nanti dosa!"
Sesaat kemudian, Gukapi masuk ke ruang tamu dengan langkah mantap. Ia melihat air mata Ajeng masih menempel di pipi.
Gukapi yang tak suka melihat air mata pun berkata, “Ajeng, kenapa kamu nangis?"
Ajeng buru-buru menghapus air matanya. "Gak kenapa-kenapa, Pak."
"Mana mungkin gak apa-apa tapi nangis!" bentak Gukapi.
"Dia pengen kerja jadi pengacara, tapi gak dapat izin dari Bapak! Makanya Ajeng nangis!" ujar Lonawi. "Sayang banget! Padahal Ajeng itu pintar."
"Bapak tahu kamu pintar. Kamu hebat, lulus dengan prestasi, dan Bapak bangga. Tapi bekerja sebagai pengacara itu nggak baik. Kamu tahu kan? Banyak pengacara yang akhirnya membela orang yang salah hanya demi uang. Orang yang salah dibela supaya menang, itu nggak benar!” suara Gukapi tegas, mencerminkan keyakinannya yang mendalam.
Ajeng menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. “Tapi Pak, nggak semua pengacara begitu. Aku mau jadi pengacara yang membela orang-orang yang benar, bukan sebaliknya.”
Gukapi menggelengkan kepala. "Bapak ngerti niatmu baik. Tapi dunia hukum itu rumit. Uang bisa bikin orang lupa sama kebenaran. Bapak nggak mau kamu kejebak di situ. Kamu perempuan, lebih baik kerja yang di tempat lain aja."
Lonawi mencoba menenangkan suasana. "Ajeng cuma mau ngejar mimpinya, Pak. Mungkin bisa kasih dia kesempatan."
Namun, Gukapi tetap pada pendiriannya. “Enggak, Ma. Bapak nggak mau dengar lagi. Bapak udah bilang, kerja di kantor itu udah cukup. Nggak perlu jadi pengacara! Bukannya Ajeng udah punya kerjaan yang baik?"
Sejak beberapa bulan lalu, Ajeng sudah bekerja di salah satu leasing. Gukapi lebih rela anaknya kerja kantoran meski di bank dari pada menjadi pengacara.
Hari-hari berlalu, dan Ajeng mencari perusahaan baru dengan gaji yang lebih besar. Akhirnya, ia mulai bekerja di kantor leasing di pusat Kota Cirebon. Di sana, ia mengurusi administrasi, mengawasi berbagai transaksi, dan mengatur perjanjian dengan klien. Namun, tak bisa dipungkiri, setiap kali ia melewati gedung pengadilan atau melihat berita tentang kasus-kasus besar di televisi, hatinya selalu teriris. Dunia yang ia impikan seakan menjauh. Meski ia menerima kenyataan, rasa kecewa itu terus membayanginya.
***
5 Tahun Kemudian.
Rumah Gukapi di Cirebon sudah jauh berubah dari sebelumnya. Meski rumah yang dulu menjadi bangunan paling besar nomor dua di Bojong Utara, di tahun 2013 ini rumah itu menjadi biasa saja. Sudah banyak rumah yang jauh lebih besar dan lebih bagus. Namun, kedudukan Gukapi dan Lonawi masih sama di mata orang-orang sekitar. Orang yang sukses dan memiliki bisnis di perantauan.
Tiap tahun, Gukapi selalu mempercantik rumahnya. Dinding yang dulunya polos kini dihiasi cat warna pink yang hangat, dengan beberapa tanaman hias di teras depan, membuat suasana rumah tampak asri. Di garasi, ada 2 motor baru yang dibeli selama beberapa tahun ke belakang. Kehidupan ekonomi Gukapi semakin baik, bahkan lebih dari sejahtera. Setiap kebutuhan keluarganya terpenuhi, mulai dari pendidikan hingga kemewahan kecil seperti tab elektronik untuk Atma yang masih SD dan laptop baru untuk Adira yang duduk di bangku kelas 3 SMA.
Sayangnya, meskipun dari luar semuanya terlihat sempurna, ada sesuatu yang mulai mengganjal di dalam hati Ajeng.
Suatu pagi yang tenang, saat suara ayam dan burung di sekitar rumah mulai mereda, Ajeng berjalan masuk ke kamar Adira. Matanya langsung menangkap pemandangan adiknya yang duduk ditemani seorang gadis sambil membuka akun Facebook di laptop.