GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #21

Pengorbanan Adira

Waktu berjalan terasa lambat sampai Adira dibolehkan pulang. Namun sayang, tak lama dari itu putri Gukapi harus kembali opname. Adira terbaring lemah di ruang perawatan intensif. Setiap detiknya bagai tarikan napas yang berat bagi kedua orangtuanya. Gukapi selalu bergantian berjaga di samping tempat tidur putrinya, tak pernah jauh, seolah takut kehilangan momen penting dalam hidup Adira.

"Aku nggak bisa ngebayangin, Pak, gimana kalau kita sampai kehilangan anak lagi," ujar Lonawi pelan sambil menangis menatap wajah pucat Adira yang tertidur dengan selang infus di tangan.

Gukapi menghela napas panjang. Meski hatinya remuk, pria itu tetap berusaha tegar di hadapan Lonawi. "Jangan bicara begitu, Ma. Nangis gak akan bikin Adira sembuh. Kita harus berdoa dan terus berusaha."

Sebenarnya, tiap kata yang keluar dari mulut Gukapi hanya menambah beban yang dipendam di dalam hati. Lonawi juga tahu bahwa suaminya tak bisa menutupi ketakutan yang sama, meski tidak pernah diperlihatkan.

Esoknya, Gukapi mendapat kabar ada pesanan besar menunggunya di Depok. Jika orderan itu dikerjakan, bisa menutupi biaya pengobatan Adira yang semakin membengkak. Namun, ia memilih tetap tinggal di Cirebon. Pria itu tak mau melakukan kesalahan untuk kedua kali–tak ada di samping saat anaknya sakit.

“Pak, mungkin ini kesempatan untuk nambah pemasukan. Biar aku aja yang jaga Adira,” ujar Lonawi dengan lembut.

Gukapi menggeleng. "Enggak, Ma. Aku nggak bisa ninggalin kalian. Bapak nggak bisa pergi sementara Mama jaga Adira sendirian."

Keputusan itu diambilnya dengan berat hati. Pekerjaan yang selama ini menjadi sumber penghidupan keluarga terpaksa ditinggal demi bisa berada di sisi anaknya yang sedang sakit keras.

Kondisi Adira semakin kritis. Dokter memberikan peringatan bahwa harapan hidupnya sangat kecil jika pengobatan dihentikan. Namun, biaya rumah sakit sudah melebihi tabungan mereka. 

Dalam upaya mereka mencari solusi, Gukapi dan Lonawi rela berutang ke beberapa teman dan saudara, meski tidak semuanya bisa memberikan bantuan yang besar. Setiap hari keduanya menghadapi kenyataan pahit tentang biaya pengobatan yang terus bertambah. Walau begitu, mereka tak pernah menyerah.

Gukapi yang sering melihat istrinya menangis kerap melarang. Karena itu Lonawi sering ke kamar mandi rumah sakit hanya untuk menangis sendirian. Baginya, air mata adalah satu-satunya pelarian dari ketakutan yang membelenggu hatinya.

Pekerjaan menjadi bos buku sudah lama berhenti sejak gubernur dan pemimpin negara ganti yang baru. Buku yang dulu hanya bisa ditemui di pedagang keliling dan toko khusus, sekarang sudah ada di mana-mana. Terlebih, sejak ada Kartu Jakarta Pintar dan sejenisnya, para siswa hanya bisa membeli alat tulis di tempat yang sudah bekerjasama dengan pemerintah. Karena itulah penjualan buku oleh pedagang keliling tidak seramai sepuluh tahun yang lalu.

Sekarang, penghasilan Gukapi paling besar hanya ketika musim bendera dan taplak saja. Sedangkan tiap harinya mengandalkan pesanan dari pelanggan di toko-toko.

Sejak Suwiryo meninggal dan jalur car free day tempat dagangnya digusur, Gukapi tidak punya penghasilan dari jualan perabot lagi. Bahkan, puluhan anak buahnya sekarang sudah banyak yang memisahkan diri. 

Di rumah yang Gukapi sewa sejak 2004 itu hanya sisa tujuh orang saja di hari-hari biasa. Kemudian akan bertambah 10-30 orang tiap musim taplak dan bendera tiba. Wajar jika penghasilan Gukapi tidak sebanyak dulu.

Setelah beberapa minggu melewati hari-hari berat, Adira kembali diperbolehkan pulang dengan catatan harus rutin periksa ke poliklinik sesuai jadwal. Dalam seminggu, Adira harus memeriksa kesehatan dua sampai empat kali. Gadis itu membutuhkan penanganan dari dokter spesialis saraf, penyakit dalam, THT dan gigi. Meski sudah bisa menggunakan BPJS, tetapi biaya transportasi dari Jamblang ke Kota Cirebon dan bekal untuk tiga orang mencapai lima ratus ribu tiap minggunya. Karena itu, sejak Adira sakit, Gukapi menaikan jatah bulanan dua juta lebih banyak dari biasanya untuk ongkos medical check up.

Pengeluaran Gukapi untuk menghidupi ketiga anak dan istrinya selama keadaan normal sebanyak sepuluh juta rupiah. Ditambah biaya transportasi dan bekal Adira, Lonawi dan Ajeng tiap minggu ke rumah sakit sebesar dua juta. Paling tidak, pria itu harus menyediakan 12 juta tiap bulan untuk kebutuhan pokok. Semua itu di luar biaya pendidikan Adira dan Atma yang sebentar lagi mulai masuk SMP.

Dalam keadaan tidak bekerja, Gukapi hanya mengandalkan pinjaman. Dengan kondisinya saat ini, hanya Ansori, Kadi dan Prawi saja yang bersedia membantu.

***

Di rumah yang kini seolah penuh dengan keheningan dan kecemasan, Gukapi berdiri di sudut ruang tamu dengan tatapan yang terus menerawang. Suasana rumahnya terasa sepi meski semua anggota keluarga ada di sana. Dinding-dinding rumah yang biasanya dipenuhi tawa, kini hanya memantulkan desahan napas lelah dari Lonawi dan dirinya sendiri. Adira, anak ketiga mereka, sedang terbaring di ranjang yang sengaja diletakkan di ruang tengah. Gadis itu kini terlihat semakin lemah.

Selama beberapa bulan terakhir, Gukapi telah melakukan segala jenis pengobatan untuk kesembuhan Adira. Dari dokter spesialis hingga pengobatan alternatif, tak ada satu pun yang terlewat. Adira harus menjalani kontrol kesehatan dua hingga empat kali dalam seminggu, membuatnya semakin tergantung pada mobil Ajeng untuk mobilitas. 

Saat melihat Gukapi kesusahan mencari biaya, Ajeng bersedia mengorbankan kebahagiaan untuk adiknya.

Di ruang tamu, Ajeng berdiri di dekat ayahnya dengan pandangan kosong menatap jendela. Wajahnya penuh dengan kegundahan, tersembunyi di balik senyum yang jarang muncul. Meski ia terlihat tegar, Gukapi tahu betul, di balik sikap dewasanya, Ajeng sangat menyayangi adik-adiknya, terutama Adira.

"Pak... kalau butuh biaya untuk pengobatan Adira, Ajeng siap menjual mobil Ajeng untuk Adira," ujar Ajeng tulus.

Gukapi tertegun. Hatinya tersentuh oleh kepedulian Ajeng, sekaligus perih mendengar keputusan yang begitu besar dari anaknya. Mobil itu bukan sekadar kendaraan, tapi alat yang vital guna kebutuhan keluarga, terutama untuk mengantar Adira berobat.

Gukapi menggeleng. "Jangan, mobil itu diperlukan. Kendaraan itu penting. Apalagi sekarang Adira harus bolak-balik rumah sakit untuk kontrol kesehatan. Kalau gak ada mobil, akan lebih susah."

Meski Adira sudah bisa tersenyum, berjalan, duduk di luar, tetapi dalam keadaan lemah ia selalu pingsan. Ketika Gukapi dan Lonawi melihat putrinya pingsan hanya karena terkena angin, hati mereka selalu remuk.

Di ruang tengah, Lonawi duduk di tepi ranjang Adira. Tangannya lembut mengusap rambut putrinya yang terbaring lemah. Setiap kali melihat wajah pucat Adira, hatinya seolah tersayat. Adira yang dulunya ceria dan selalu penuh tawa kini berubah menjadi sosok yang sering terbaring, tak berdaya. Lonawi berusaha tetap kuat, tetapi rasa lelah mulai menghimpit tubuhnya, terutama ketika ia harus selalu menjaga Adira dari serangan pingsan yang datang tiba-tiba.

Lihat selengkapnya