GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #22

Nasib Si Bungsu Atma

Cirebon, Tahun 2018


Matahari bersinar cerah di langit Cirebon, menghangatkan suasana pagi yang sejuk. Rumah Gukapi tampak tenang, di dalamnya penuh rasa syukur dan lega yang membanjiri seluruh anggota keluarga. Adira yang hampir dua tahun berjuang melawan penyakitnya, kini telah sembuh. Pengobatan yang begitu mahal, ditambah tumpukan utang yang tak terhindarkan, menjadi bagian dari masa lalu berat untuk dikenang. Meski kondisi finansial keluarga masih terpuruk, kesembuhan Adira adalah anugerah terbesar yang tak ternilai harganya.

Gukapi duduk di ruang tamu dengan tumpukan kertas tagihan yang masih tergeletak di meja kecil, sebagian besar sudah berbulan-bulan menunggu untuk dilunasi. Tetapi pagi ini, wajah Gukapi lebih cerah. Pikirannya sudah tidak lagi terbelenggu oleh kekhawatiran soal Adira. Kini, pria itu hanya berfokus pada bagaimana caranya perlahan-lahan melunasi semua utang yang menumpuk.

Dari kejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Adira, mengenakan gamis kebaya hitam anggun dengan burkat pink, tengah bersiap untuk hari istimewanya. Hari ini adalah hari wisudanya, momen yang dinantikan setelah bertahun-tahun perjuangan melewati sakit, dan kini gadis itu akhirnya menyandang gelar Ahli Madya Kebidanan. Sebuah pencapaian yang tak hanya menjadi kebanggaannya, tapi juga seluruh keluarga.

"Pa, aku udah siap berangkat," ujar Adira dengan senyum yang cerah, memamerkan seragam wisudanya.

Gukapi menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Ayok, Mama sama Atma udah nunggu di mobil."

Wisuda Adira berlangsung di salah satu gedung terbesar di Grage Hotel Cirebon. Gedung itu dipenuhi oleh kebahagiaan para lulusan dan keluarga mereka. Karpet merah terbentang di sepanjang jalan menuju panggung dihiasi bunga-bunga indah, sedangkan dekorasi dinding aula berkilauan dengan hiasan lampu-lampu kristal yang menciptakan suasana megah. Di bagian depan, sebuah panggung besar dengan layar LED menampilkan nama-nama lulusan yang dipanggil satu per satu. Para wisudawati mengenakan toga hitam dengan aksen hijau campur kuning keemasan, mereka duduk rapi di deretan kursi yang disusun berbaris.

Adira duduk dengan perasaan campur aduk, mengenakan toga dengan jubah kebesaran Ahli Madya Kebidanan. Di dadanya, jantungnya berdetak kencang, memikirkan perjalanan panjang yang telah ia lalui. Semua perasaan perjuangan, rasa sakit, dan ketakutan yang dulu menyelimutinya kini membuncah dalam kebahagiaan yang mendalam. Tatapan matanya memandang ke arah panggung, memantulkan harapan yang akhirnya terwujud setelah melalui begitu banyak cobaan.

Saat namanya dipanggil. “Adiratna Septian... Ahli Madya Kebidanan,” suara pembawa acara bergema di aula.

Adira berdiri, menarik napas dalam-dalam sebelum berjalan menuju panggung. Setiap langkahnya terasa berat, bukan karena tubuhnya lemah, tapi beban emosional yang memenuhi dadanya. Sesampainya di panggung, ia menerima surat kelulusan dari dekan dengan tangan yang sedikit gemetar. Ketika map hitam itu berpindah ke tangannya, perasaan lega dan haru seketika meledak di dalam dirinya.

Adira turun dari panggung dengan air mata yang mengalir. Ia terharu, tidak percaya bahwa akhirnya bisa sampai di titik ini. Ia melihat ke arah bangku keluarga, dan di antara wajah-wajah yang tersenyum, ia melihat Lonawi dan Gukapi, mereka tampak sangat terharu. Gukapi yang menyadari Adira menangis, buru-buru bangkit dari kursinya, melangkah cepat mendekati Adira.

"Adira, kenapa nangis? Kamu pusing?" tanya Gukapi dengan nada khawatir, suaranya serak menahan emosi.

Adira menggelengkan kepala, mencoba menahan tangis yang semakin deras. "Enggak, Pa... aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang bergetar.

Sebelum mereka bisa berbicara lebih lanjut, seorang panitia wisuda mendekati Gukapi dengan sopan. "Pak, mohon kembali ke tempat duduk. Acara belum selesai."

Gukapi menepuk pundak Adira pelan sebelum berbalik dan kembali ke tempatnya. Ia terus memperhatikan Adira, tak henti-hentinya mengagumi ketabahan dan kekuatan putrinya.

Setelah acara wisuda selesai, mereka menuju sebuah studio foto yang letaknya tak jauh dari gedung. Di studio, keluarga Gukapi berkumpul bersama, mengenakan pakaian rapi. Mereka mengambil beberapa foto kenangan, terutama Adira yang tetap mengenakan toga kebesarannya. Senyuman terukir di wajah mereka, dan meskipun Adira masih tampak sedikit lelah, kilauan kebahagiaan terlihat di matanya.

Sore itu, setelah sesi foto yang penuh kehangatan, mereka memutuskan untuk makan bersama di sebuah restoran andalan mereka. Suasana restoran cukup ramai, tetapi penuh dengan keakraban. Meja mereka dipenuhi hidangan lezat yang disajikan, dan suara canda tawa menghiasi suasana makan. Ajeng duduk di sebelah Adira, sesekali mengusap pundak adiknya yang kini terlihat lebih santai setelah acara yang begitu emosional.

“Gak nyangka, ya. Akhirnya bisa sampai di sini,” kata Ajeng pelan, sambil menyuap sedikit nasi.

“Aku juga gak nyangka, akhirnya Teteh wisuda juga,” jawab Atma dengan suara penuh rasa bangga.

Mereka melanjutkan makan dengan rasa syukur, menikmati momen kebersamaan setelah begitu banyak badai yang telah mereka lewati. Meski utang Gukapi menumpuk setelah pengobatan Adira, pria itu masih menyisihkan uang demi menyenangkan istri dan anak-anaknya.

***

Cirebon, Tahun 2019


Meski masih berada di bulan yang kerap hujan sehari-hari, tetapi langit Cirebon tampak biru jernih. Sayangnya di dalam rumah Gukapi, awan kecemasan kembali menghampiri. Kali ini bukan Adira yang terbaring sakit, melainkan Lonawi.

Pada awalnya, Lonawi hanya merasa lelah dan sering merasa haus, tetapi setelah pemeriksaan lebih lanjut, dokter menemukan bahwa gula darahnya sangat tinggi.

"Diabetes..." kata dokter umum yang praktik di desa mendiagnosis. Hal itu sempat membuat Gukapi dan Lonawi terdiam sejenak.

Lonawi menatap Gukapi dengan perasaan campur aduk. Baru saja mereka merasakan kebahagiaan karena Adira sembuh, sekarang cobaan kembali datang. Lonawi sering merasa lemah, dan tubuhnya semakin ringkih.

Begitu tahu ibunya terkena diabetes, Ajeng dan Adira segera mengambil alih untuk perawatan ibunya. Bersama-sama mereka menjaga agar gula darah Lonawi bisa terkontrol.

"Ma, gak usah khawatir. Mama jangan banyak pikiran, nanti aku yang masak buat makan Mama, ya." Ajeng berusaha menenangkan ibunya.

"Nanti aku sama Papa bakal belanja kebutuhan untuk makan Mama," imbuh Adira.

Kasur di ruang tengah yang biasanya menjadi tempat Adira saat sakit kini ditempati Lonawi. Malam ini, Gukapi dan ketiga anaknya duduk di samping wanita yang baru terdiagnosis diabetes itu.

"De... pijitin kaki Mama, ya." Lonawi memerintahkan anak bungsunya.

Tanpa menunggu, Atma langsung menuruti permintaan sang ibu.

"Mulai sekarang, Mama harus ikuti saran dokter. Stop minum teh manis dan minuman kemasan, ya, Ma." Adira memberi sedikit nasihat. "Insya Allah, Mama bisa lewatin ini," tambah Adira sambil tersenyum meyakinkan.

Lonawi memandangi ketiga anaknya bergantian. Mata wanita itu berkaca-kaca. "Kenapa Mama bisa sakit kayak gini? Padahal gak ada turunan."

"Gak usah mikirin ke sana, Ma," jawab Gukapi. "Sekarang Mama fokus sama kesehatan aja, kalau Mama banyak pikiran itu bakal memperburuk keadaan."

Lihat selengkapnya