Cirebon, April 2022
Langit sore di Cirebon tampak mendung, awan kelabu menggantung rendah, seakan ikut merasakan kegelisahan yang merambat di dalam hati Gukapi. Sudah seminggu Lonawi dirawat di rumah sakit, sampai saat ini kondisinya belum juga membaik. Gukapi, yang biasanya tegar menghadapi segala masalah, kini tampak lelah. Entah kenapa ada setitik putus asa dalam lubuk hatinya yang paling dalam.
"Paaa," ujar Lonawi dengan suara sangat pelan dan kurang jelas.
Gukapi yang sedang duduk di bawah ranjang segera berdiri. "Kenapa, Ma?"
"Adira sama Ajeng kok belum ke sini?"
"Mereka udah di jalan katanya. Tunggu aja ya, Ma. Anak-anak kita pasti ke sini kok."
Lonawi mengangguk lemah. Sedangkan Gukapi melanjutkan makan yang tertunda.
Sejak hari pertama dirawat Jumat lalu, suami dan anak sulungnya menunggu di rumah sakit. Sedangkan Ajeng, menitipkan anaknya kepada Adira dan Atma. Pagi tadi, Atma kembali ke Bandung karena sudah lima hari tidak masuk kuliah. Melihat gula darah Lonawi sudah normal, anak bungsu Gukapi itu izin pergi lagi dan ibunya pun membolehkan.
Sambil menunggu Ajeng dan Adira datang, Lonawi tiba-tiba melontarkan kalimat yang membuat Gukapi terkejut.
"Paaa, Bapak aja rabi, ya!"
Gukapi tersenyum mendengar ucapan Lonawi. "Ya ampun, Ma... Mama ngomong apa sih! Mama yang semangat, ya! Bapak bakal ngurusin Mama sampai kita sama-sama tua nanti, Bapak janji!"
Setelah selesai makan, Gukapi mengganti diapers istrinya yang sudah penuh.
Setelah sekian lama tidak mengendarai motor jarak jauh, dua minggu lalu Lonawi melakukannya lagi bersama Gukapi. Pikirnya, anak-anak sudah besar, mereka bisa menghabiskan waktu berdua dan mengenang masa-masa indah saat berjuang bersama di Depok.
Sepulang menaiki motor dari Depok ke Cirebon selama 12 jam, Lonawi tampak lemah dan lunglai. Ia perlu dirangkul Adira atau Gukapi jika ke kamar mandi. Saat tidak enak badan seperti ini, Lonawi tidur di bawah putaran kipas angin. Karena itulah ia selalu mual muntah tiap kali makan. Adira beberapa kali memijat Lonawi saat sedang muntah.
Beberapa hari setelah kondisinya memburuk, Lonawi dibawa ke dokter umum dan mendapati gula darahnya 187 mg/dL. Katanya tidak terlalu mengkhawatirkan. Namun, tiga hari setelah periksa, Lonawi tampak lemas akibat tidak nafsu makan. Karena itu Gukapi langsung membawanya ke IGD Rumah Sakit Ciremai Kota Cirebon, tempat yang sama saat Adira melakukan pengobatan Radang Selaput Otak.
Selama enam hari dirawat, gula darah Lonawi naik turun. Hingga Rabu pagi tadi menyentuh angka 111 mg/dL. Pernah Lonawi tidak sadar mengeluarkan kotoran hingga membuat Adira dan Ajeng kewalahan saat membersihkan karena konsistensi yang terlalu cair. Hal itu cukup mengejutkan Adira, ia sampai syok memikirkan kesehatan Lonawi.
"Mama geser dulu, ya. Bisa enggak kakinya diangkat?" tanya Adira sambil melempar senyuman memimpin komando kakak dan ayahnya saat membersihkan kotoran.
Lonawi mengangguk lemah. Tubuhnya digerakan meski tenaganya tak paripurna.
"Apa aku menyiksa kalian?" tanya Lonawi sambil meneteskan air mata.
"Eeh ... Mama kok ngomong gitu?" Adira mengerutkan kening. "Enggak, Mama gak menyiksa kita. Masa cuma karena nyebokin Mama, terus dibilang menyiksa?" Anak tengah Lonawi itu masih tetap tersenyum.
"Kalian harus pakai sarung tangan," pinta Lonawi.
Kali ini Ajeng yang heran. "Mama sakit? Kulitnya kena kuku Adira?"
Lonawi menggeleng. "Enggak... kalau kalian gak pakai sarung tangan nanti bau, nanti kotor."
"Enggak, Mama." Adira menahan tangisnya. "Emang dulu Mama pakai sarung tangan pas cebokin aku? Pas cebokin Mbak Ajeng?"
Lonawi menggeleng. "Enggak... tapi kan dulu kalian masih kecil. Sekarang Mama udah tua."
"Enggak! Adira gak merasa kotor, Adira sama Mbak Ajeng sayang sama Mama."
Adegan seperti itu terjadi hampir tiap hari. Hanya Adira yang bisa membersihkan tubuh ibunya dengan sangat bersih. Namun, karena badannya yang kecil, ia butuh Ajeng untuk menopang atau mengangkat kaki ibunya. Sedangkan Gukapi akan berperan membawa air, lap basah, tisu kering dan kantong sampah yang dibutuhkan anaknya.
Kegiatan seperti itu terjadi sejak sehari setelah Lonawi menginap di rumah sakit.
Sesaat kemudian, Adira dan Ajeng datang membawa susu dan buah-buahan untuk ibunya.
"Tuh, Maaa... Ajeng sama Adira udah datang." Gukapi berdiri di samping Lonawi.
Adira dan Ajeng bergantian mencium punggung tangan ibunya.
"Kenapa emangnya, Pa?" tanya Ajeng.
"Itu mama kamu nyariin terus. Katanya kapan Ajeng sama Adira ke sini?"
"Mama udah makan belum?" tanya Adira.
"Belum tuh! Mama gak mau makan terus!" Gukapi menimpali. "Tadi protes katanya kesel, soalnya Bapak ngasih makan Mama gak selembut Ajeng sama Adira."
Apa yang dikatakan Gukapi memang benar. Selama ibunya berbaring di rumah sakit, Ajeng menyuapi Lonawi seperti ia sedang berhadapan dengan anaknya yang masih kecil, sangat lembut dan nadanya ceria. Hal itu pasti membuat ibunya senang.
"Maaa... kalau kita lagi berduaan di kamar, Mama selalu bilang: ‘anak-anak kita nanti sayang enggak, ya, sama mama? Anak-anak bakal peduli enggak, ya, kalau mama sakit?’ naah, ini jawaban dari Allah, Ma. Alhamdulillah Ajeng, Adira, Atma... semuanya sayang sama Mama. Iya, kan?" Gukapi butuh validasi istrinya.
Lonawi mengangguk, mengiakan ucapan Gukapi.