GUKAPI: Lelaki yang Tak Suka Air Mata

tettyseptiyani02
Chapter #24

Sarjana Teknik Perminyakan

Setelah kepergian Lonawi, seisi rumah hancur. Namun, Adira yang tampak paling rapuh di antara kakak dan adiknya. Beberapa kali gadis itu menangis, lalu meminta pelukan dari ayah atau kakaknya. Tiap harinya, Adira mencoba menguatkan dirinya. 

Beberapa hari setelah kepergian ibunya, Adira menuliskan kisah duka yang dialami dalam status di Facebook. Di satu unggahan, ia menceritakan bagaimana rasanya kehilangan ibu yang sangat ia cintai. 

Adira menulis dengan hati yang hancur, tetapi penuh cinta: 


Adiratna Septian • Facebook

Bagaimana Cara Melanjutkan Hidup Tanpa Adanya Seorang Ibu?

Ada yang menanggapi pertanyaan empat kata pertama itu dengan serius, ada juga yang bercanda dan menjawab: dengan cara bernapas dan makan.

Ini memang salah aku, harusnya pertanyaan itu lebih lengkap. "Bagaimana Cara Melanjutkan Hidup Tanpa Adanya Seorang Ibu?"

Mungkin orang-orang akan menjawab lebih serius atau bahkan mereka bisa berbagi pengalaman.

Energiku sudah habis sejak Mama tiba-tiba masuk ICU di hari Rabu malam Kamis. Habis untuk menuliskan kata-kata, habis untuk memikirkan hal lain kecuali kesembuhan Mama.

Mama masuk rumah sakit karena mual muntah, lemas, tidak ada asupan yang masuk dalam tubuh. Progres selama di rumah sakit cukup bagus. Tapi... meski Mama tidak sakit parah, hatiku hancur.

Senin sore aku menangis di rumah memeluk Atma. "Aku hancur, Dek... aku gak tega lihat Mama sakit. Badannya lemes, gak bertenaga. Aku mau Mama sembuh, Dek."

Aku nangis sejadi-jadinya. "Aku takut kehilangan Mama, Dek. Aku gak mau kehilangan Mama. Aku sayang Umi (dia ibu angkatku, istri dari Abah Ustaz Ansori), dia ibu yang baik buat aku... tapi dia bukan ibu yang mengandungku. Aku mau ibu kandungku, aku mau Mama sembuh."

Tangisan itu benar-benar menggelegar, menggema di rumahku yang kosong dari barang-barang. Kemudian Atma langsung memelukku erat.

"Teteh ... Mama pasti sembuh! Yakin, Mama pasti sembuh!" 

Senin malam dan Selasa, kesehatan Mama semakin membaik. Rabu pagi adikku berangkat ke indekos di Bandung karena ada kuliah. 

Rabu malamnya aku, kakak, dan keponakanku diminta Papa untuk pulang. Beliau meminta kami istirahat sekitar jam sepuluh malam. Kami pun pulang di tempat aku tinggal, di Taman Kota Ciperna. Hanya delapan menit saja jarak ke rumah sakit.

Sejam kemudian, saat kami sudah masuk kamar masing-masing hendak istirahat, Papa telefon kakak. Katanya napas Mama gak beraturan, herannya pas ditanya bilangnya gak sesak.

Aku langsung minta Papa untuk lapor ke perawat dan dokter. Beberapa menit kemudian dipasang oksigen.

Aku masih tenang, karena aku pernah sakit sangat parah dengan bantuan oksigen saat bernapas. Sayangnya, Rabu malam di akhir bulan April pukul 23.53 WIB, Papa kembali telepon.

"Mama gak kenal sama Papa, ini harus gimana?" Katanya Papa sampai nangis.

Detik itu juga kami, termasuk anak Mbak Ajeng yang masih balita berangkat ke rumah sakit yang jaraknya cukup dekat. Di perjalanan, kakak selalu bilang, "Teh, kita harus ikhlasin Mama."

Aku percaya diri, bahwa Mama pasti sembuh. Sejak beberapa hari kemarin, aku gak mau ikhlas melepas Mama. Namun malam itu, di mobil aku berbagi cerita.

"Mbak, tiap kali sakitku kambuh dan mengeluh... Allah gak kasih-kasih kesembuhan. Namun setelah aku bilang: ‘Ya Allah aku ikhlas jika memang harus begini.’ Maka Allah memberi aku kesembuhan. Sekarang aku ingin bilang, aku ikhlas dan pasrahkan Mama pada Allah."

Harapanku, Allah akan memberikan kesembuhan pada mama seperti yang terjadi padaku.

Sampai di rumah sakit, Mama ternyata masih bisa bicara, merespon kita dengan baik, kenal aku, kakak, papa. Mama masih mengenal kami semua.

Sayangnya, napas Mama makin tidak beraturan. Jam 2 malam Mama masuk ICU dengan pertimbangan yang matang dan diskusi dengan seluruh keluarga, dilakukan pemasangan ventilator dan inkubasi.

Saat adikku yang dari Bandung datang, Papa menyuruh kami pulang lagi. Karena di ruangan hanya boleh satu orang. Beliau meminta kami istirahat. Kami percaya Mama sembuh. Karena bibi, istri Mang Sunar pernah masuk ICU beberapa hari dan berhasil survive.

Jam setengah sepuluh pagi Papa telepon, jantung Mama melemah. Setelah dilakukan pompa jantung dan tidak berhasil, setengah jam kemudian Mama dinyatakan tidak ada. 

Saat itu juga dunia terasa runtuh. Bagaimana aku bisa hidup tanpa Mama?

Siapa yang pernah membaca kisahku saat sakit meningitis beberapa waktu lalu pasti tahu, betapa aku sangat membutuhkan Mama. Tiap orang yang mengenalku dengan dekat, pasti tahu betapa aku sangat bergantung pada Mama.

Siapa pun itu... tolong ajari aku bagaimana melanjutkan hidup tanpa adanya sosok mama? Siapa pun... mohon doanya, mohon hadiah Al-Fatihah untuk mamaku Ibu Sarah Lonawi binti Warja.


Unggahan Adira menggugah emosi banyak orang, ada sekitar seratus komentar dan ratusan suka. Puluhan orang juga ikut membagikan.

Kemudian, di hari lain tepat setelah 7 harian Lonawi, Adira kembali membuat status di Facebook.


Adiratna Septian • Facebook

Bagaimana Rasanya Kehilangan Mama?

Saat Papa memberi kabar tentang keadaan Mama di pagi hari tepatnya tanggal 25 April lalu, aku masih menganggap bahwa jantung Mama hanya tiba-tiba lemah, bukan berhenti!

Selain Papa dan Mama, kami sekeluarga menginap di tempat tinggalku... jaraknya 30 menit dari Bojong Utara. Tepat saat mobil yang dikendarai kakak masuk pintu tol Ciperna menuju Plumbon, aku kembali telepon Papa.

"Assalamu'alaikum." Suara Papa tampak tenang.

"Wa'alaikumussalam, Papa udah berangkat dari rumah sakit?" tanyaku.

"Udah, ini udah mau sampai rumah bentar lagi."

"Pa... itu beneran Mama udah gak ada?" Lagi-lagi aku masih tak percaya. "Mama udah gak napas lagi? Jantungnya gak berdetak lagi?"

"Ya namanya orang meninggal, Ra... ya udah gak ada napas."

"Coba Papa cek lagi, barangkali Mama masih napas."

Aku menebak Papa benar-benar melakukan hal yang diminta. Sesaat kemudian beliau kembali berbicara.

Lihat selengkapnya