Sudah hampir dua tahun Lonawi meninggal dunia, tapi rasa kehilangan itu masih begitu nyata bagi Gukapi. Ia sering merasa gamang setiap kali pulang ke Jamblang, rumah yang dulu terasa begitu hangat dan hidup kini hanya menjadi tempat persinggahan sementara. Namun, meski hidupnya terasa sunyi, Gukapi tak pernah membiarkan kesedihan melumpuhkannya.
Setelah Atma lulus dan bekerja di pertambangan di Indramayu, ia merasa tanggung jawab sudah terpenuhi. Kini, semua anak-anaknya sudah mapan dengan jalannya masing-masing.
Setelah beberapa hari di rumah, biasanya Gukapi kembali berangkat ke Depok untuk mengurusi pekerjaan yang masih tersisa. Meski sudah tak terlalu aktif seperti dulu, Gukapi tetap mempertahankan bisnis kecilnya. Baginya, bekerja adalah salah satu cara menghindari kesepian yang menghantuinya setiap kali ia berada di Jamblang.
"Bapak kalau mau pulang kasih tahu dulu. Biar Ajeng ke Jamblang dan bisa masakin makanan sebelum Bapak pulang," ujar Ajeng suatu hari melalui telepon.
Di Kedawung, Ajeng sibuk dengan rutinitas barunya sebagai seorang ibu. Meski usianya sudah tidak muda lagi ketika melahirkan sang anak, Ajeng tetap berusaha memberikan yang terbaik. Rumah Ajeng terletak di daerah yang strategis, berada di tengah-tengah antara rumah Adira di Harjamukti dan rumah Gukapi di Jamblang, sehingga memudahkan mereka untuk berkumpul ketika Gukapi pulang ke Cirebon.
Sementara itu, Adira yang kini tinggal di Harjamukti, tengah sibuk melanjutkan kuliahnya. Rayyan yang merupakan seorang PNS di Kementerian Agama, sepenuhnya mendukung keinginan Adira untuk terus belajar. Di antara kesibukan kuliah dan pekerjaannya sebagai asisten bidan, Adira juga rutin pulang ke rumah Gukapi di Jamblang setiap dua minggu sekali.
"Enak enggak tinggal di sana, Ra?" tanya Gukapi saat mereka duduk di ruang tamu saat menunggu Ajeng memasak. Adira baru saja tiba untuk mengunjungi ayahnya, membawa buah-buahan yang dibelikan Rayyan.
"Alhamdulillah, Pa... Rayyan di sana dihargai banget sama warga. Makanya kami betah di sana," jawab Adira sambil tersenyum.
"Baguslah, yang penting kamu bahagia dan selalu sehat. Gimana kuliahmu? Lancar?"
"Insya Allah, lancar, Pa. Rayyan selalu dukung aku. Lagipula, ini kan memang impianku sejak lama pengin kuliah sampai profesi dan jadi dosen kebidanan. Alhamdulillah Rayyan mau nanggung biaya kuliah, jadi ini kesempatan aku, Pa."
Gukapi menatap putrinya dengan bangga. "Papa senang lihat kamu bahagia." Gukapi menghela napas. "Dulu, waktu antar kamu kontrol kesehatan pas masih sakit meningitis, ada yang namanya sama... Adira. Terus dia nanya, ‘anaknya namanya Adira, Pak? Sama ya, saya juga Adira.’ terus ibu-ibu itu nanya, kenapa mau ngasih nama anak Adira?"
"Terus Papa jawab apa?"
Gukapi menceritakan tentang kekaguman pada seorang gadis keturunan Arab anak dari pelanggannya. "Pas kamu SMP, rasanya pusing. Karena kamu gak sesuai sama yang Bapak bayangkan."
Adira terkekeh mendengar cerita ayahnya. Pasalnya saat duduk di bangku sekolah dasar sampai SMP, ia menjadi gadis yang sangat tomboi. Jangankan berhijab, memakai rok saja jarang.
"Tapi pas SMA, kamu mulai kelihatan berubah. Bapak juga bilang sama pasien yang lagi nunggu giliran itu, alhamdulillah Adira berubah, waktu SMA mau pakai kerudung. Terus aktif di remaja masjid, sampai akhirnya kamu seperti sekarang."
"Emang sekarang aku kayak gimana?"
"Ya alhamdulillah, salihah. Mau menutup aurat dengan sempurna, dekat dengan Al-Qur'an bahkan memiliki suami seorang ustaz muda." Gukapi menghela napas. "Bapak selalu mendoakan kamu sama Rayyan jadi orang yang sukses. Selalu bahagia dan harmonis. Alhamdulillah Bapak perhatikan kamu sama Rayyan termasuk harmonis. Beda sama bapak mama, dulu waktu pernikahan seusia kalian sering berantem."
Adira tersenyum, merasakan kehangatan dari pujian ayahnya. "Terima kasih, Pa. Aku juga selalu mendoakan Papa supaya sehat dan bahagia."
Meski Gukapi sering merasa kesepian, ia tahu bahwa anak-anaknya selalu ada untuknya. Setiap kali mereka berkumpul di Jamblang, rumah itu kembali hidup sejenak. Ajeng, Adira, dan Atma selalu berusaha meluangkan waktu untuk ayah mereka, meski kesibukan masing-masing terkadang membuat ketiganya sulit untuk berkumpul.
***
Suatu sore, ketika Gukapi sedang beristirahat di beranda rumahnya di Jamblang, Atma datang dari Indramayu. Ia baru saja pulang kerja dari kilang minyak, dan memutuskan untuk langsung mengunjungi ayahnya sebelum pulang ke rumah Ajeng.
"Paaa," panggil Atma, suaranya terdengar berat, sedikit lelah setelah perjalanan.
Gukapi menoleh, tersenyum melihat putri bungsunya. "Deee, kenapa pulang gak bilang-bilang? Biasanya ke sini sama Mbak Ajeng?"
Atma duduk di sebelah ayahnya. "Katanya Mbak Ajeng nanti ke sini bareng sama Teteh."