"Santai aja, Bil. Kepala sekolah udah tahu kalau kamu itu spesial. Mereka akan bantu kamu," kata Abi sambil mengusap kepala Bila.
Bila melirik ragu ke Umi yang hanya membalasnya dengan senyum penuh dukungan. Bila mengangguk lemah, mencoba menyerap keberanian dari senyuman Abi. Namun, isi otaknya terlalu sibuk menenangkan para huruf yang terus meliuk dan menari.
***
Gedung tua sederhana itu berdiri kokoh di depan rumah kontrakan Bila. Bangunan itu adalah Madrasah Al Firdaus, sekolah baru Bila. Abi memutuskan pindah rumah agar dekat dengan madrasah di mana kedua putrinya bersekolah. Madrasah itu sekaligus merupakan tempat Abi mencari nafkah sebagai guru IPA untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah putra.
Bila dan Dila, kakaknya yang sekarang duduk di kelas 7, tidak akan diajar Abi. Selain guru yang berbeda untuk putra dan putri, gedung madrasahnya pun terpisah.
Di hari pertama, setiap langkah Bila terasa seperti melalui jembatan gantung yang bergoyang. Pohon-pohon tinggi di sepanjang jalan tampak seperti penjaga yang ramah, mengayunkan dahan seolah menyampaikan ucapan selamat datang.
Bila menggenggam erat tangan Dila. Matanya yang besar dan cokelat terang tampak berbinar dengan rasa ingin tahu, sesekali menyiratkan sedikit kecemasan. Rambutnya yang hitam lurus di atas bahu kini tertutup kerudung biru, senada dengan gamis yang membungkus tubuh kurusnya, hingga hanya terlihat telapak tangan dan kulit wajah yang putih menyerupai sang ibu. Sebab, sepasang kakinya pun terbalut kaos putih yang tebal dan sepatu sekolah hitam mengkilap.
Dila, mengenakan seragam yang sama, tampak lebih percaya diri meski jantungnya juga berdebar lebih kencang dari biasanya. Bagaimanapun, tidak semua temannya di tingkat Madrasah Ibtidaiyah dulu melanjutkan pendidikan di tempat yang sama. Akan tetap ada teman, guru, dan pelajaran baru yang ditemui.
Gadis berkulit sawo matang itu berusaha berjalan dengan postur tegap dan pandangan penuh keyakinan untuk menyemangati Bila. Padahal, keningnya mengkilap karena sepagi ini bedaknya yang dipakai telah luntur oleh peluh kecemasan. Bibir penuhnya terus mengatup menahan khawatir. Sesekali, dia membetulkan letak tali ransel marunnya yang tampak berat dan sering bergeser karena tidak bisa menutupi rasa gelisah.
Langkah mereka telah sampai di depan bangunan satu lantai beratap genteng merah. Mentari memercikkan sinar emas ke atas dinding-dinding bata yang dicat dengan warna krem. Pohon-pohon bidara di sisi kanan-kiri gerbang menambah kesan teduh dan nyaman.
Meskipun begitu, Bila merasa ada kupu-kupu bermain lompat tali di dalam perut. Dia berdiri berdampingan dengan Dila di ambang sepasang gerbang besar yang terbuat dari besi dan terbuka lebar.
Air muka kakak Bila itu masih menunjukkan ketenangan. Kedua mata cokelat gelapnya mengamati sekeliling diiringi senyum kecil yang terkembang, lebih untuk menutupi gelembung kecil kegugupan di dada.
Beberapa siswi melewati mereka. Ada yang gembira, ada pula yang datar saja. Tiba-tiba, seorang siswi yang sedang memeluk tiga buku tebal mendekati keduanya. “Asalamualaikum, Dila. Senangnya ketemu lagi! Liburanmu seru?" sapanya penuh semangat.