“AHA!” sahut Bila mengacungkan telunjuk kanan.
Bila dan Dila sontak cekikikan bareng. Bila dengan cepatnya menggunakan istilah baru itu untuk meredakan ketegangan yang sedari tadi menjerat keduanya. “Aha” yang biasanya menjadi kata seru saat sebuah ide muncul, kini menjadi alat Bila untuk lebih terhubung dengan alfabet, hijaiyah, dan angka.
“Untuk sementara, anggap aja kaligrafi ini adalah seni indah yang menyambut kita setiap hari,” kata Dila sambil kembali menunjuk papan nama sekolah. “Karya seni yang mengantarkan kita masuk Firdaus! Insyaallah, aku akan masuk ke surga itu dengan menjadi orang yang bermanfaat ilmunya, dan kamu ….”
“Jadi dokter kaya yang dermawan!”
Pekik Bila yang tiba-tiba lancar itu terpaksa tertahan karena menyadari sekitarnya. Suasana sudah makin ramai dengan derap langkah siswi lain. Anak berpipi kemerahan itu merasakan kegembiraan yang bercampur dengan ketegangan. Di dalam otaknya, para AHA mulai mengenakan pakaian petualang mereka, siap menjelajah dunia belajar yang baru.
“Sekolah ini adalah petualangan barumu. Kamu akan memiliki cerita sendiri. Aku enggak sabar mendengarnya setiap pulang,” cetus Dila sungguh-sungguh.
Bila menatap kakaknya lekat-lekat dan mengangguk cepat. Kerlip riang di mata Bila kembali seperti sedia kala. Sepasang indra penglihatan tersebut memperhatikan lapangan yang cukup luas di hadapan. Lapangan itu yang memisahkan gedung MI di bagian kanan dan gedung MTs di bagian kiri. Di sekelilingnya, berjajar pot dengan bunga yang mulai mekar. Ada merah, kuning, dan putih.
Dila menggenggam tangan Bila, memberi tekanan lembut sebagai tanda dukungan. "Ayo, aku tunjukin kelasmu," bisik Dila.
Bila menggenggam tali ransel lebih erat. Tas baru itu berwarna biru dan ungu dengan pola bintang dan bulan yang menggantung nyaman. Langkah Bila menjadi lebih mantap dengan Dila di sampingnya. Ketegangan awal mulai tergantikan dengan rasa ingin tahu yang lebih besar tentang apa yang akan dia temukan hari ini.
Keduanya menyusuri deretan ruang kelas di gedung MI, mulai dari ruang kelas 6 di bagian yang paling dekat dengan gerbang. Hiasan kaligrafi Arab yang indah di dinding memberikan inspirasi dan pengingat akan nilai-nilai spiritual dan intelektual yang diajarkan, meski hanya tampak sebagai lengkungan-lengkungan lucu di mata Bila.
Dari balik jendela-jendela besar berbingkai kayu yang terbuka, Bila bisa melihat papan tulis putih di setiap kelas. Anak itu merasa senang melihat meja serta kursi kayu di dalamnya yang berbaris dua-dua di lajur kanan dan kiri.
Mereka main kereta-keretaan! teriak Bila dalam hati.
“Lihat, Bil!” seru Dila sambil menunjuk ke arah area bermain di depan ruang kelas 1, di mana beberapa anak asyik bermain perosotan, jungkat-jungkit, dan ayunan. “Ternyata, mereka beneran pindahin alat bermain dari TK ke sini. Kamu jadi bisa pakai bareng temen-temen, Bil.”
Bila ikut bergairah mendengarnya.
"Nah! Itu kelasmu, Bil. Yang ada tulisan ‘Kelas 2’ di atasnya,” ujar Dila sambil menunjuk papan kayu yang menggantung di pinggir bingkai pintu kelas di hadapan mereka. “Aku pergi dulu, ya. Ingat! Kamu bisa."
Kedua telapak tangan Dila menggenggam hangat masing-masing telapak tangan Bila.