Usai memakai sepatu lagi, Bila mengikuti langkah Asma’ yang menggandengnya menuju area bermain. Teman barunya itu menawari naik ayunan yang memiliki dua kursi panjang berhadapan. Mengetahui siswi-siswi lain berebut giliran, Bila memilih mengalah dan mengamati saja.
Bel berbunyi. Kegaduhan kecil di antara para siswi ternyata tidak mereda. Malah, volume suaranya meningkat sambil berlarian ke lapangan. “Baris! Baris!” teriak mereka.
Baris? tanya Bila dalam hati.
Sekujur tubuhnya perlahan merinding. Bila merasakan sepatu baru yang membalut telapak kaki kini begitu berat karena kuat mencengkeram tanah. Kenapa harus pakai acara baris, sih? Apa otakku sekarang bisa mengatur kaki? Jangan-jangan, masih kaya sebelumnya, rutuk Bila.
Bila memang tidak terbiasa dengan rutinitas sekolah. Di sekolah sebelumnya, dia tidak pernah benar-benar mengikuti ritme. Tahun lalu, dia hanya bertahan sebulan di SD swasta inklusif, sebelum dikeluarkan karena kesulitannya membaca dan menulis dianggap menghambat kelas. Itu adalah sekolah inklusif terakhir yang masih memiliki tempat tersisa untuk Bila.
Padahal, Abi dan Umi sudah bersusah payah menyisihkan penghasilan mereka dan mengumpulkannya untuk memasukkan Bila di sekolah tersebut. Setelah semua biaya pendaftaran, seragam, dan gedung lunas, ternyata Bila malah tidak bisa belajar lagi di sana.
Memang, secara teori, sekolah itu menerima anak-anak berkebutuhan khusus. Namun, keterbatasan kuota kelas membuat mereka perlu membuat prioritas. Sekolah tersebut memilih menggantikan Bila dengan seorang alumni TK mereka yang berkursi roda. Siswa penyintas polio itu masih bisa mengikuti semua kegiatan dengan lancar, bahkan saat berbaris!
Sinar matahari yang hangat tidak cukup mengurangi gemetar di perutnya yang dingin akibat para kupu-kupu di dalamnya yang seperti menggelepar. Tiba-tiba saja semua tampak bergerak terlalu cepat. Bila merasa tersesat dalam lautan seragam sekolah.
Dia mencoba mengikuti arus siswi yang mulai membentuk barisan di lapangan. Jantungnya berdebar ketika melihat seberapa disiplin siswi kelas yang lebih tinggi mengatur barisan mereka. Bila mengamati para siswi yang terlihat sudah tahu persis apa yang harus dilakukan agar bisa berbanjar rapi.
Diam-diam, Bila berusaha menemukan tempatnya dengan gerak-gerik yang tidak terlalu menonjol. Bila tidak yakin di mana harus berdiri. Dia belum hafal teman-teman sekelasnya, sehingga tidak tahu harus berkumpul di bagian mana.
Siapa tadi namanya? Asa? Di mana dia? Aku seharusnya baris sama dia, kan?
Kerajaan Pikir yang ramai dan berwarna-warni sedang mengalami kekacauan yang menyenangkan. Di salah satu sudut paling berisik dan penuh warna dari kerajaan—yang dikenal sebagai Desa Memori—para penghuni yang ceria tetapi sedikit kikuk sedang mengalami krisis.
"Kawan-kawan, kita perlu menemukan Asa! Bila harus tahu di mana dia berbaris!" teriak Kapten Nero, pemimpin yang selalu bersemangat tetapi agak lupa-lupa ingat. Kapten Nero, yang mengenakan topi kedodoran, mengacungkan sebuah megafon yang terbuat dari lipatan-lipatan kenangan.