Gulung Pensil

Farida Zulkaidah Pane
Chapter #8

Sepatu yang Pergi

Matahari baru saja tergelincir posisinya dari atas kepala. Azan zuhur berkumandang lembut. Panggilan mendalam untuk salat berjamaah itu mengalir melalui lorong-lorong sekolah, masuk ke setiap ruang kelas.

Kelas-kelas yang tadinya dipenuhi suara bisik-bisik dan tawa perlahan berganti haluan. Ada rasa urgensi yang tak terucap tetapi terasa oleh semua, mendorong mereka tidak terlambat memenuhi panggilan salat di masjid sekolah yang terletak di luar madrasah putri.

Siswi-siswi mengemas buku dan alat tulis mereka dengan tergesa-gesa. Bila memilih terakhir keluar kelas karena tidak yakin apa yang harus dilakukan. Dia berniat mengikuti gerak-gerik teman-temannya saja.

Uni melihat ini sebagai kesempatan bermain-main dan membuat lelucon kecil. Dia mengambil sepatu Bila dan dengan cepat menyembunyikannya di tempat sampah di sudut halaman.

Terangnya kilau mentari setara dengan kegembiraan para siswi yang berbondong-bondong keluar madrasah. Namun, tidak semua yang terkena sinar tersebut merasakan keceriaan.

Ha? Sepatuku pergi! teriak batin Bila saat keluar dan menyadari sepatunya tidak di tempat semula.

Rasa panik mulai menyelimuti Bila. Di sekeliling, tidak ada yang memperhatikan kebingungan yang tergambar jelas di wajahnya—semua terlalu sibuk dengan urusan mereka sendiri. Asma', yang biasanya peka dan perhatian, sudah lebih dulu bergegas menuju masjid. Suara adzan terus berkumandang, membuat Bila semakin frustrasi.

Kebingungan yang memburu mengantarkan gelombang kegelisahan berwarna kelabu dan transparan di Kerajaan Pikir. Suasana menjadi tegang. Kapten Nero yang selalu siaga di depan Telaga Panorama mendeteksi keberadaan gelombang tersebut mulai memengaruhi sistem. Telaga besar yang biasa memproyeksikan pemikiran dan perasaan Bila ini beriak dan mengeluarkan cahaya biru tua yang mencerminkan kecemasan dan kebingungan.

Ekspresi wajah kapten yang muncul secara holografik di bagian atas tubuhnya tampak waspada. Dua titik terang di sana yang berfungsi seperti mata menyorot terang dan dalam. Ia menyalakan satu panel kecil di dada hingga berwarna merah sebagai tanda darurat.

"Status siaga!" teriak Kapten Nero melalui segaris mulut yang sederhana dan sangat fleksibel menggunakan megafon kenangan yang berlipit-lipit. Suaranya menggema di seluruh Kerajaan Pikir. "Jangan sampai kecemasan mengambil alih!"

Para pasukan duduk di stasiun masing-masing, wajah mereka serius dan penuh fokus. Mereka tahu tahu betul kondisi Bila yang disleksia. Kapasitas memori kerja yang terbatas dan kecenderungan mudah stres membuat kehilangan sepatu bisa menjadi masalah besar.

Kapten Nero memanggil Komandan Serotonin untuk menghadap. Tanpa basa-basi, Kapten Nero langsung membuka topik. "Komandan, laporkan kondisi terkini!"

Lihat selengkapnya