Anggun segera melihat-lihat koleksi buku ayahnya setelah membaca tema lomba menulis naskah novela di sebuah platform digital lewat ponselnya, lalu membawa beberapa novel berlatar tragedi 98 ke sofa.
Pak Bassam Wijaya berhenti membaca, menutup buku di tangannya seraya melayangkan perhatiannya kepada Anggun. Ada sesuatu yang perlu dibicarakan dengan putrinya itu.
Tiba-tiba seekor anak kucing berbulu hitam datang mengeong-ngeong manja dan menggosok-gosokkan kepala di kaki Pak Bassam.
“Wol, apa kabar?” sapa Pak Bassam sambil meletakkan bukunya di atas meja. “Wol, Papa rasa … di sana pun, di luar kesibukan kampus, Ang tetap bisa menulis, kan?” Dengan agak membungkuk Pak Bassam menjulurkan tangan untuk meraih Wol lalu memangku dan mengelus-elus kepalanya. “Pingin juga Papa baca novel Ang dengan latar tempat-tempat di Jerman.”
Mengembang seketika kedua pipi Anggun. Sudut bibirnya pun melebar. Tentu saja ia tahu selain joging, ayahnya hobi menghabiskan waktu luang dengan membaca buku. Tapi ia ragu seorang yang sudah berusia 60 tahun lebih masih tertarik membaca novel remaja. Kerap ia melihat ayahnya membaca novel sambil rebahan di sofa panjang yang didudukinya itu namun bukan novel yang ia tulis. Buku-buku ayahnya di lemari buku dekat tangga di belakangnya kebanyakan memang novel sastra. Ia pun sesekali membacanya.
Anggun mengangkat wajah. “Memangnya Papa sudah baca semua novel Ang?” Lantas menaikkan tangan kanannya ke dekat telinga dan, tanpa membalikkan badan ia menunjuk ke belakang, ke lemari buku ayahnya itu. “Kazuo Ishiguro, Abdulrazak Gurnah, Louse Gluck, Peter Handke, Olga Tokarczuk, belum lagi pemenang DKJ dan Kusala Sastra. Mereka semua dalam antrean tuh menanti Papa.”
Pak Bassam tertawa. “Tapi kalau novel Ang, blurb-nya kayaknya sudah semua Papa baca.”
Anggun terkikih menyambut tawa ayahnya, “Blurb doang!”
“Yakin tidak ingin S2 di sana?”
Anggun menegakkan badannya menjauhi sandaran, menutup buku di tangannya, lalu dengan suara rendah mempertegas keputusannya, “Yakin, Pa! Kalau Ang memaksakan diri tetap ke sana, nanti hasilnya malah mengecewakan Papa.”
Pak Bassam kembali tertawa. “Jangan serius gitulah, santai saja, Ang.”
Anggun lega. “Ang maunya sekarang diajar langsung oleh Legenda, Pa.”
Pak Bassam menurunkan Wol ke lantai. “Semoga itu keputusan yang tepat.”
“Wol!”
Wol menoleh ke arah Anggun.
Anggun mengulurkan tangannya. “Sini!”
Wol lincah menyeberang ke sofa panjang satu lagi dengan cara melewati kolong meja, lalu melompat ke pangkuan Anggun dan langsung mendengkur begitu dagunya dielus-elus. “Ang, sungguh tidak tega ninggalin Wol dan Papa,” kelakar Anggun sembari menggilik-gilik telapak kaki Wol yang tampak menggemaskan.