Gunawan dan Rosela

Dirman Rohani
Chapter #3

#3

Setelah beberapa bulan lalu Omiwa dan Mak Kara—dua perempuan berusia enam puluhan yang juga sudah membersamai keluarga Pak Bassam selama puluhan tahun—memutuskan pulang kampung untuk mengurus cucu-cucu mereka, Asisten Rumah Tangga di rumah itu tinggal Mang Sarbin seorang. Ia tengah menerima satu kantong plastik besar makanan pesanan dari driver ojol bersamaan Anggun memasukkan mobil ke dalam garasi.

“Ini Mang, buat cucu Mang.” Bu Citra mengeluarkan dua kotak ayam geprek dari kantong plastik besar itu, memberikannya kepada Mang Sarbin.

“Terima kasih, Bu. Saya mau pulang sekarang.”

“Hati-hati di jalan, Mang.”

Beberapa saat kemudian, selepas magrib, di meja makan terdengar riuh tawa canda Pak Bassam dan Anggun.

Tidak seperti Pak Bassam yang rileks, Bu Citra tampak gelisah. Peristiwa berat masa lalu yang dilaluinya tergambar dengan jelas lagi dalam benaknya karena obrolan Pak Bassam dan Anggun mulai menyinggung masalah pengangguran, oligarki, korupsi, kolusi dan nepotisme yang sedari Orde Baru hingga zaman sekarang tetap saja terus jadi persoalan bangsa ini. Semua itu mengingatkannya saat kena PHK dari tempat bekerja, sebuah perusahan tekstil yang bangkrut akibat krisis moneter di tahun 1997. Ia masih berusia 23 tahun saat itu.

“Ma. Mama kenapa, Mama sakit, Ma?” tanya Anggun karena mendapati Bu Citra termenung dengan wajah lesu.

“Nggak, Mama cuma kepikiran … Ang ngomong di HP barusan seperti orang marah, kenapa?” Bu Citra berkilah sembari tersenyum untuk menutupi apa yang sebenarnya ada di pikirannya.

“Bang Dipa yang nelpon. Ang cuma bilang Ang lagi ada urusan penting malam ini, jadi sebaiknya dia nggak usah datang—”

“Urusan penting sama Wol ya Ang?” potong Pak Bassam dengan candaan lagi.

“Sama Papa, setelah itu baru urusannya sama Wol.”

“Ang, Ang kenapa terkesan sombong gitu sama Dipa?” Bu Citra menanggapi serius sembari mulai membereskan meja makan. Sekarang raut wajahnya terlihat seperti biasa lagi, risau hati dan hal yang dipikirkannya tadi teralihkan seketika.

“Nggak nyaman aja ngobrol sama dia, Ma.”

“Nggak asyik orangnya ya Ang?” Pak Bassam tertawa kecil.

“Nah, Ang sependapat sama Papa. Gayanya juga hedon gitu, Pa. Pamer-pamer nggak tentu di medsos. Norak! Perilaku anak pejabat yang seperti itu juga termasuk perbuatan mengkhianati cita-cita reformasi, kan Pa?”

Pak Bassam bangkit dari kursi meja makan, “Urusan pentingnya akan kita selesaikan setelah piring-piring balik lagi ke tempatnya.” 

“Asyik, terima kasih Papa.” Saking senangnya Anggun lekas-lekas membantu Pak Bassam mencuci piring-piring kotor di bak cuci.

Lihat selengkapnya