Gunawan dan Rosela

Dirman Rohani
Chapter #4

#4

Setelah membaca satu demi satu blurb semua novel yang dibelinya tadi sore, Juang memilih sebuah novel bergenre fantasi yang akan dibaca duluan. Penulisnya bernama Anggun Rosela. Ini kali pertama ia membaca novel penulis tersebut. Masih dengan berdiri di depan lemari buku ia pun mulai membacanya sambil menanti Joni.

Sementara itu di ruang dapur, Pak Hikmat tampak terpincang-pincang, berjalan perlahan meninggalkan meja makan. Ia menuju sofa panjang di depan TV yang baru saja ditinggalkan Tri. Mendengar namanya diteriaki di luar rumah, anak bungsunya itu dengan komik di tangan bergegas ke ruang tamu dan membuka pintu depan, lalu menengadahkan kepala untuk membalas teriakan temannya. “Sebentar!”

“Cepat!” Terdengar suara sahutan dari balkon kamar di lantai dua sebuah rumah yang berada di seberang jalan, yang sedari tadi memanggil-manggil Tri.

Tri menghadapkan wajah ke arah Pak Hikmat. “Yah, Tri mau ke rumah Adi.”

“Jangan main jauh-jauh.”

Tri buru-buru ke lemari buku, menyimpan komiknya, tapi setelah itu tiba-tiba malah menghampiri Juang. “Bang, pinjam HP.”

“Paketnya tinggal dikit. Nggak cukup buat game,” kata Juang sambil menatap sebentar wajah Tri yang memelas.

“Bang, kapan beli PS?” Tri malah merengek, raut wajahnya berubah cemberut.

Juang menunjuk celengan Tri yang menyempil di antara komik-komiknya dalam rak lemari buku. “Belum penuh, kan?”

Tri memutar badannya, melangkah pergi dan memberengut. “Bosan baca komik melulu.”

“Tri, apa manfaatnya ngomong begitu.” Bu Soraya tiba-tiba muncul dengan membawa setimba air buat tanaman hiasnya yang dipajang di teras.

“Mak, Tri mau ke rumah Adi.”

“Jam sembilan pulang, ya?”

Tri mengiyakan sambil keluar dengan agak berlari.

 *

Pak Hikmat mengubah posisi duduknya, serong menghadap ke lemari buku. Satu menit lebih lamanya ia memperhatikan Juang yang tengah tenggelam dalam bacaannya. Perasaan sedih menggelayut di kalbu lelaki tua itu. Sebenarnya ia sangat mendukung keinginan Juang melanjutkan kuliah ke luar negeri, namun kalaupun nantinya ada beasiswanya tetap saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Ia pun masih memiliki utang di bank yang mesti dicicil selama tiga tahun lagi. Sekaranglah waktunya, ia berkata dalam hati.

Ia meminta Juang duduk di dekatnya, lalu menjelaskan bahwa dirinya sudah terlalu tua untuk mengurus toko peralatan instalasi listrik yang menghidupi mereka sekeluarga. Ia meminta Juang meneruskan usaha tersebut setelah memberitahukan perihal pinjaman uang dari bank yang digunakan buat beli toko itu ketika memulai usahanya dulu dan yang dijadikan agunannya tanah rumah mereka.

Juang takzim mendengarkannya.

Akan tetapi, kemudian perasaan Juang teraduk-aduk tak menentu, tapi ia segera menyadari bagaimana kondisi orangtuanya sekarang. Ia sangat memahami saat sang ayah memintanya cepat-cepat menikah di akhir pembicaraan tentang mengurusi toko dan besarnya cicilan uang setiap bulan yang harus disetorkan ke bank.

“Jangan telat, Ang. Jangan seperti Ayah dan mamakmu.”

Lihat selengkapnya