Gunawan dan Rosela

Dirman Rohani
Chapter #5

#5

Begitu Dipa pulang, Anggun membaca pesan WhatsApp yang dibalas Arvin: Hei, bung! Eh, hei sus, hehe. Hai adikku yang tangguh. Bingung nih mau cerita apa. Coba lihat koleksi komik dragon ball kita, masih disimpan, kan? Beberapa di antaranya, Abang lupa yang vol berapa aja, ada coretan-coretan pulpen di halaman-halamannya. Baca berurutan dari nomor satunya, ya. Tapi itu hanya cerita dari seorang anak kecil, hehehe. Moga terbantu dan naskah novel Ang bisa selesai sebelum deadline.

Walaupun Arvin bilang itu komik kita, Anggun tidak terlalu tertarik pada komik dan jarang membacanya, bahkan yang dragon ball itu belum pernah dibacanya, jadi ia tidak tahu sama sekali tentang coretan yang Arvin maksudkan. Ia tahu komik Arvin itu tersimpan dalam sebuah kotak besar yang terletak di rak paling bawah di salah satu lemari buku ruang menulisnya. Satu demi satu ia mengeluarkannya dari dalam kotak itu seraya memeriksa setiap halamannya. Tidak butuh waktu lama menemukan coretan Arvin. Yang urutan 10 yang pertama kali ditemukannya.

10. Terdengar suara kaca pecah. Abang mengintip lagi. Ada puluhan anak-anak, maksud Abang bukan anak-anak seperti Abang, mereka jauh lebih besar dari Abang. Sebesar itu pasti sudah SMP dan SMA. Mereka melempar sebuah bangunan dengan batu. Bapak-bapak yang berdiri di situ tidak memarahi mereka.

 Dengan ponselnya Anggun memfoto tulisan itu sebelum membolak-balik halaman berikutnya mencari-cari tulisan tangan Arvin yang lain. Rencananya nanti saja dibaca dari nomor satunya setelah semua difotoi.

Hampir tengah malam saat Anggun selesai memeriksa komik yang terakhir. Cukup melelahkan, ia segera ke kamarnya, matanya sudah teramat berat.

*

Bu Citra merasa berada di suatu ruangan yang gelap tapi tak asing baginya. Tiba-tiba seseorang membekap mulut dan tubuhnya dari belakang dengan kasar. Ia meronta-ronta, berusaha melawan dan ingin berteriak meminta tolong.

Pak Bassam terjaga karena erangan dan kaki Bu Citra yang menyentak-menyentak. Pak Bassam tahu betul apa yang tengah dialami Bu Citra, ia segera menghidupkan lampu utama kamar itu dan menepuk-nepuk lembut pipi istrinya. “Mama, Mama.”

Bu Citra terjaga, membuka mata, menyadari mimpinya ini mimpi buruk yang dulunya kerap hadir dalam tidur malamnya selama membesarkan Anggun di Jerman.

“Sebentar, Papa ambilkan minum.”

Beberapa saat kemudian Pak Bassam kembali masuk ke kamar dengan membawa satu gelas air putih dan memberikannya kepada Bu Citra.

“Ayo tidur lagi, Ma. Besok kita kan mau joging jalan kaki lima ribu langkah?” kata Pak Bassam dengan nada gembira, ia ingin perasaan tidak baik sang istri teralihkan dengan segera.

Pak Bassam menghidupkan lampu tidur lalu mematikan lampu utama kamar itu. Bu Citra tertidur pulas lagi, tapi menjelang Subuh, kejadian menakutkan lainnya yang dialaminya dulu dirasakannya lagi dalam mimpinya. Jalan di depan rukonya tiba-tiba macet. Orang-orang mulai berkerumun di pinggir jalan. Tak ada seorang pun yang dikenalnya. Beberapa di antara mereka berpenampilan seperti anak SMA, tapi, tampang mereka aneh dan ketuaan, kontras dengan seragam putih abu-abu yang mereka kenakan. Mereka mendekati rukonya dan ruko lain sambil berteriak, “Ambil barang-barangnya!”

Ia segera menarik pintu terali besi pengaman depan rukonya.

“Bakar! Bakar!” terdengar teriakan lain dari balik kerumunan.

Barang-barang di dalam rukonya mulai terbakar. Sebelum lari lebih ke dalam tadi sempat terlihat botol-botol berapi yang dilemparkan dari luar jatuh pecah di dalam rukonya. Dalam sekejap api di belakangnya semakin membesar. Hawa panas membalut sekujur tubuhnya. Matanya perih. Napasnya sesak. Dalam kepulan asap hitam ia tertatih-tatih memaksakan dirinya berpindah ke ruang dapur di bagian belakang ruko. Pintu di belakang jalan keluar satu-satunya. Tapi sesampai di situ, otot kakinya keram, rasanya sakit sekali, berat bergerak melangkah. Rasanya tenaganya habis. Kakinya yang sudah teramat lemah itu bahkan tak mampu lagi menopang untuk sekedar berdiri. Ia pasrah, hanya berharap suaminya yang setengah jam lalu pergi mengecek toko-tokonya yang lain bersama Mang Sarbin tidak berjumpa dengan orang-orang seperti orang-orang di luar itu. Suara hatinya merapalkan doa, memohon keselamatan. Tiba-tiba, hanya dalam hitungan detik, bersamaan saat tubuhnya terjatuh, pintu di depannya berdebum keras didobrak dari luar.

Mendengar suara rintihan di sebelahnya, Pak Bassam segera menyalakan lagi lampu utama. “Mama, Mama.” Dengan suara kecil ia membangunkan sang istri sambil membelai kepalanya.

“Tidak apa-apa, cuma mimpi,” kata Pak Bassam dengan tersenyum begitu sang istri terjaga.

Azan terdengar, Bu Citra perlahan bangkit. “Sudah lama kita tidak ke rumah Bang Hikmat ya, Pa?”

“Mama, mimpi saat ruko kita terbakar?”

“Iya, Pa.”

“Sudah sangat lama kita tidak bertemu Bang Hikmat dan Kak Soraya. Nanti sore kita ke sana.”

***


“Jon, ada rekrutmen karyawan di BUMN. Tapi yang buat SMK belum, Jon.” Sambil berbaring Juang membaca info tersebut di ponselnya.

Lihat selengkapnya