Anggun lagi-lagi merasa kesal. Seperti pada malam-malam minggu lalu, Dipa datang lagi. Sudah cukup terus-terusan berpura-pura seperti yang sudah-sudah. Berulangkali menjaga perasaan orang lain dengan pura-pura tertarik mendengarkan hal-hal yang diobrolkannya, sungguh membosankan, bukan?! Anggun mendongkol dalam hati ketika secara tidak langsung mempersilakan Dipa pulang, juga mengatakan bahwa ia harus tidur cepat karena besok pagi ada hal penting yang harus dikerjakan.
“Ang, besok kan hari libur?” Merasa mendapatkan momentum besar yang tidak boleh dilepas, Dipa tersenyum senang, “Memangnya Ang mau ngapain?” Ia beranggapan inilah kesempatan baginya untuk lebih dekat dengan Anggun. “Ang mau ke mana? Biar Bang Dipa anterin.”
“Masalah kerjaan. Aku lebih suka nyetir sendiri,” tegas Anggun sembari langsung bangkit dari sofa.
Dipa sedikit terkejut. “Kalau begitu … baiklah. Tapi besok boleh ya Bang Dipa main ke Legenda?”
Anggun tidak merespons. Ia cukup lega Dipa segera ke ruang sebelah untuk pamitan pulang pada Bu Citra yang tengah membaca-baca majalah di depan TV.
***
Di sini pun Minggu lebih ramai daripada hari lain. Hari libur memang dimanfaatkan sebagian orang buat jalan-jalan, berbelanja, juga sekalian menemukan buku bacaan yang mereka sukai. Anggun melangkah santai, melewati rak-rak buku, melewati keramaian pengunjung, berpapasan dengan wajah-wajah gembira. Ia sesekali berhenti sebentar. Pelan-pelan perhatiannya merayapi sekitar. Selain ingin mengamati suasana, di hari libur ini ia sengaja datang karena sudah janjian dengan Pak Najib—kenalan ayahnya yang baru dikenalnya itu akan mengirim pekerjanya untuk memasang beberapa buah lampu di tempat-tempat yang ia inginkan. Sebagai manajer baru di toko buku ini ia bermaksud menciptakan suasana nyamannya menjadi semakin lebih menyenangkan bagi para pengunjung, terutama para pecinta buku.
Tengah asyik-asyiknya Anggun dengan harapannya itu, seorang pramuniaga menghampirinya, menyampaikan bahwa dua orang teknisi listrik baru saja datang dan menunggu di dekat meja kasir. Anggun mengucapkan terima kasih dan bergegas ke sana. Saat tiba di dekat Juang dan Joni, begitu tatapan matanya tertuju pada Juang, ia sedikit kaget, ia merasa tidak asing dengan sosok yang berdiri di hadapannya.
Juang pun sama kagetnya.
Namun kekagetan Anggun tadi tersembunyikan oleh sikap spontannya memperkenalkan diri, yang dengan ambisiusnya menyambut Juang dan Joni, sehingga keduanya jadi terbengong-bengong seketika. Sampai-sampai satu dua pengunjung yang tengah melihat-lihat buku di rak buku terdekat menoleh ke arah mereka bertiga sesaat. Tak terkecuali sepasang mata tajam yang sedari tadi memang mengawasi Anggun. Ya, siapa lagi kalau bukan Dipa. Ia tiba di Legenda hanya beberapa menit saja di belakang Juang dan Joni. Pada saat masuk tadi, ia mendapati Anggun tengah berjalan cepat mendekati dua orang tukang listrik yang berdiri di dekat salah satu meja kasir.
Tentu saja Juang dan Joni terbengong-bengong, sebab, Anggun yang tadi munculnya tiba-tiba, ramah menyapa dan langsung memperkenalkan dirinya, seketika nada bicaranya berubah drastis, menjadi begitu lantangnya. “Terima kasih sudah datang tepat waktu. Kami butuh tambahan pencahayaan di etalase!”
Anggun tersenyum, menyadari kelakuannya, menyadari apa yang tengah terjadi pada dirinya. Ia menelan ludahnya, dalam hati menertawakan dirinya sendiri. Meskipun sebelumnya sudah berulang kali mengingatkan diri sendiri agar bersikap tenang, nyatanya ia sulit meredam luapan semangatnya yang dapat menggebu-gebu begitu saja, berada di luar kendalinya. Mungkin karena sedang dirasuki spirit reformasi, candanya lagi pada diri sendiri. Peristiwa pada tahun 1998 yang dibaca dan dicatatnya untuk mendukung cerita dalam novelnya masih mengiang di dalam kepalanya.
Juang masih belum tahu harus bicara apa. Ia sungguh tak menyangka bisa berjumpa lagi dengan Anggun yang baru sekarang ia tahu namanya. Walau sudah lama sekali tidak melihatnya lagi—selama ia kuliah—raut wajah Anggun masih melekat kuat dalam kepalanya, bahkan tertanam dalam di hati. Ketika ia masih SMK, dalam perjalanan pergi pulang sekolah dengan bis sekolah, sosok yang tengah berdiri di hadapannya saat ini kerap mendapatkan tempat duduk di dekatnya. Selalu mengenakan jaket jean hitam, topi hitam, dan biasanya jika tengah melihat sesuatu yang ada di sekitar ia memperhatikannya lama-lama sekali, kecuali pada saat mereka bertemu pandang. Ia dan Anggun akan saling sekilas tersenyum saja lalu sama-sama cepat-cepat mengalihkan tatapan masing-masing ke tempat lain.
“Pak Mus?” Joni kelihatan ragu, sebab sebelum-sebelumnya bila diminta menangani masalah kelistrikan di tempat ini mereka akan selalu berurusan dengan Pak Mus.
“Naik ke posisi baru, ke bagian lain,” jawab Anggun, ia kembali bicara dengan tenang.
Terdengar bunyi email masuk, Anggun segera mengeluarkan ponselnya. Dari sebuah penerbit mayor. Kegembiraannya bertambah-tambah hari ini. Salah satu novelnya segera cetak ulang lagi dan satu naskah novel yang dikirim tiga bulan lalu akan diterbitkan bulan depan. Itu sebabnya ia lupa bertanya nama kedua tukang listrik yang berdiri mematung di depannya. Ia jadi begitu bersemangat lagi dan memutuskan berjalan cepat segera setelah mengajak Juang dan Joni agar mengikutinya. Ia akan memperlihatkan tempat-tempat pajangan buku yang masih kosong, yang diletakkan di sekeliling tiang-tiang bangunan dalam ruangan besar ini.
“Di sini!” tunjuk Anggun tanpa sedikitpun memperlambat langkah kakinya.
“Di sini!” tunjuknya lagi beberapa saat kemudian masih dengan menggebu-gebu.
Anggun terus saja berjalan ke etalase-etalase berikutnya, diikuti Juang dan Joni.