Seperti perkiraan Juang dan Joni, semuanya benar-benar rampung jelang tengah hari. Tidak ada komplain apa pun, hasilnya sudah sesuai keinginan Anggun. Anggun kemudian mengajak mereka makan siang ke sebuah rumah makan Minang yang letaknya tidak terlalu jauh dari gedung Legenda. “Kalian harus bersedia kutraktir.”
Candaan Anggun disambut tawa Joni. “Dengan senang hati nggak bakal nolak!”
Anggun menyentuh layar ponselnya, mencari-cari nomor rumah makan tersebut. Saat menelepon minta disiapkan tiga porsi nasi padang menu rendang, ia didatangi seorang staf perempuan yang membawa laptop di tangannya. Dengan tangan kiri Anggun segera memindahkan ponselnya ke telinga kirinya seraya memperhatikan tabel serta grafik di layar laptop, lalu mengangkat jempolnya. Stafnya tersenyum mengangguk, kemudian melangkah cepat balik ke ruang kerjanya.
“Meja nomor dua belas,” kata Anggun, “tapi aku menyusul sebentar lagi. Ada kerjaan yang nggak bisa ditunda.”
“Ang, musalanya masih di tempat yang lama, kan?” tanya Joni sambil menggulung kabel bor listrik.
“Masih, kenapa?”
“Cuma memastikan. Okelah, selesai zuhur kami langsung ke meja dua belas.”
Tanpa bicara Anggun mengangkat sedikit lengan kirinya, memperlihatkan arlojinya pada Joni sembari memukul-mukulnya dengan jari telunjuk, lalu melangkah cepat meninggalkan Juang dan Joni yang tengah memasukkan peralatan kerja ke ransel.
*
Di antara rak-rak buku, sesosok berpostur tinggi besar yang memang sudah lapar sedari tadi, dengan tersenyum-senyum buru-buru mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon Dipa. “Bos, teknisi listrik itu diajak Crush Bos ke rumah makan. Kita bergerak ke sana, Bos?”
“Siap, Bos. Gua jemput Bos sekarang,” lanjutnya dengan senang sambil menekan-nekan perutnya yang gendut.
*
Dua puluh menit kemudian Anggun tiba di rumah makan yang ia maksud, tapi hanya Joni seorang yang terlihat duduk di meja nomor dua belas. “Juang ke mana?” tanyanya sambil menarik kursi kosong di depan Joni.
“Pulang sebentar, antar rantang ayahnya.”
“Rantang?”
“Makan siang ayahnya di tokonya.”
“O … ayah Juang jualan?”
“Jual alat-alat kelistrikan. Dulu ayahnya teknisi listrik juga. Itu Juang.”
Juang tampak celingukan. Saat ia menoleh ke sebuah sisi dinding yang dipenuhi pajangan gambar logo-logo kelompok band terkenal, barulah yang dicarinya terlihat. Joni melambaikan tangannya. Juang pun bergegas ke sana.
Juang menduduki kursi di sebelah Joni bersamaan saat seorang pramusaji datang dengan meja dorongnya.
Anggun mempersilakan Juang dan Joni memulai makan begitu si pramusaji selesai meletakkan hidangan.
“Ayo Ang, jangan malu-malu,” ucap Joni, sedari tadi perutnya memang minta diisi, bahkan ia sudah menghabiskan sebotol teh dingin dan sebungkus peyek kacang sebelum Anggun datang.
“Ayo, ayo.” Anggun menanggapi candaan Joni. “Aku juga sudah lapar.”
“Juang maksudku. Nama kalian beda tapi panggilannya sama, ya?”
“Anggun Rosela,” sela Juang, “jangan kaget kalau Joni bakalan dua kali nambah. Porsinya tukang!” Pada saat menyebut nama Anggun Rosela, Juang teringat pada nama penulis novel yang novelnya malam tadi baru sampai bab tiganya ia baca, yang penulisnya bernama Anggun Rosela juga.