"Take me home." Joni memukul-mukul pundak Juang.
“Nanti! Setelah dia pulang.”
Joni tertawa. “Takut apa! Bawa-bawa cewek ke rumah.”
“Kalau ada kamu, kamu kan bisa menjelaskannya.”
“Menjelaskan apa?”
“Beritahu mamakku!”
“Beritahu apa?”
Juang melirik sekilas kaca spion motornya dan memperlambat kecepatannya supaya sedan Anggun tidak tertinggal jauh di belakang.
“Terserah tapi jangan ngacau.”
“You can count on me.” Joni terkekeh-kekeh.
Begitu tiba di depan rumahnya, Juang meminta Joni memberitahu Anggun untuk berhenti dan menepikan mobilnya.
Karena jalannya cukup lebar dapat dilewati dua mobil, sebelum membuka pintu pagar Joni mengisyaratkan tangannya kepada Anggun agar parkir di tempat yang ditunjuknya, di pinggir jalan tepat di depan pintu luarnya kamar Juang.
Anggun keluar dari mobilnya. Lama ia menatap rumah tembok kecil sederhana yang berada di depannya. Rasanya, ia tahu dengan rumah ini walaupun suasana di sekitarnya sudah jauh berubah. Ini kan rumah temannya Mama?
Di depan teras, Bu Soraya yang tengah jongkok menjemur belimbing wuluh segera berdiri. Ia terkejut melihat ada seorang gadis berjalan di samping Juang.
“Teman, Mak. Yang mau melihat-lihat novel,” kata Juang malu-malu.
“Rosela namanya, Mak,” sambung Joni saat Anggun menyalami Bu Soraya.
“Mau dibuat Asam Sunti ya Mak?” Anggun memperhatikan belimbing wuluh di dalam tampah, dekat kaki Bu Soraya.
“Iya,” jawab Bu Soraya dengan ramah.
“Kok tahu, Ros?” tanya Joni.
“Dari buku resep masakan nusantara. Asam Sunti, bumbu dapur khas Aceh.”
“Iya, ada batangnya sebatang ditanam ayah Juang di belakang,” kata Bu Soraya.
“Mak, orang Aceh?” Anggun memperhatikan baik-baik wajah Bu Soraya. Ia membongkar lagi ingatan lamanya ketika datang ke rumah ini bersama orangtuanya, disambut dengan gembira oleh Bu Soraya. Ibunya berpelukan lama sekali dengan sang ibu di depannya ini, sampai-sampai mata mereka berdua dibasahi air mata. Tapi ia tidak terlalu menaruh perhatian apa yang mereka obrolkan saat itu karena ayahnya mengajaknya ke lapangan di seberang jalan, persis di depan rumah ini, untuk menaikkan layangan yang tergeletak di lantai terasnya. Ketika itu hanya ada Bu Soraya seorang di rumah ini. Hingga setengah jam berlalu atau mungkin lebih saat ibunya pamitan, ia belum juga melihat Juang dan ayahnya.
“Ayah Juang. Mak asli sini,” jawab Bu Soraya. “Ang, ajak temannya masuk.”
“Ayo, Ros.”
“Tri, duduk yang bagus, ada tamu,” kata Bu Soraya pada Tri yang tengah rebahan di ruang tamu dengan buku di tangan.
Tri segera bangkit untuk menyalami Anggun. Anggun tersenyum, ia masih ingat wajah Tri. Begitu pula Tri.
“Kakak yang beliin kami es krim kemarin, kan?”
“Hai, kita berjumpa lagi.” Anggun mengacak-acak rambut Tri, “ini novel apa?” Buku tanpa kovernya lagi di tangan Tri menarik perhatian Anggun.
“Mata dan Rahasia Pulau Gapi. Bang kapan beli Petualangan Poupelle?”
“Di sana lemari bukuku.” Juang langsung mengajak Anggun ke lemari bukunya—mengabaikan Tri.
Saat Juang bersama Anggun menuju lemari buku, Joni diminta Bu Soraya ikut serta ke dapur. Dan Tri yang semestinya tidur siang memanfaatkan momen ini untuk kabur ke rumah Adi.
Joni menarik kursi meja makan lalu mendudukinya. “Rosel itu bosnya toko buku di Legenda, Mak. Tampaknya serasi ya Mak sama Juang.”
Bu Soraya menyipitkan matanya saat mendengar nama Legenda, dan terdiam sejenak. “Kalian sudah makan?” tanyanya kemudian tanpa menanggapi pernyataan Joni.
“Sudah, Mak. Ditraktir dia.”
Dalam ingatannya, Bu Soraya membanding-bandingkan wajah Anggun dengan wajah seorang anak yang dulu dibawa Bu Citra ke rumah ini. Apa iya anak Bu Citra? Tapi anak Bu Citra namanya Anggun, bukan Rosel.