Matahari tertutup mendung semenjak siang tadi. Lampu-lampu di tiang gerbang taman yang dihidup-matikan secara otomat oleh perangkat sensor cahaya menyala lebih cepat sore ini. Joni menekan rem belakang sepedanya, berhenti sebentar di depan parkiran tepat di belakang sebuah sedan sambil menelepon pemiliknya. Setelah memasukkan kembali ponselnya ke tas pinggangnya Joni mengarahkan laju sepeda ke jalur sepeda yang ada dalam area taman sambil sesekali menengadah, memperhatikan nyala lampu di tiang-tiang lain. Beberapa saat kemudian meninggalkan sepedanya begitu saja. Dengan berjalan kaki ia mendekati sebuah gazebo. Kedatangannya langsung disambut teriakan Anggun. “Jon! Nggak apa-apa sepedanya di sana?!”
“Aman, kan terlihat dari sini,” kata Joni saat sudah berada di gazebo. “Gun, nyusul sebentar lagi,” lanjutnya sambil melepaskan sepatunya, lalu duduk dan menyandarkan tubuhnya di salah satu tiang gazebo dan melongok ke belakang, mencari-cari lampu taman lainnya, “hidup semua, mulai dari tempat parkir nggak ada yang nggak nyala.”
Anggun menggeser meja kecil di hadapannya ke tepi dinding setelah mematikan laptopnya.
“Mau nambah di mana lagi, Ros?”
“Nambah apa?” Dahi Anggun mengerut.
“Lampunya?”
“Oh, ada, ada. Di taman belakang rumahku,” jawab Anggun spontan.
“Bukannya di sini?”
Anggun tertawa. “Bercanda melulu kamu, Jon.”
Joni melongo.
“Aku senang duduk di taman saat nulis, kalau di taman ini, ini yang ketiga kalinya ke sini,” lanjut Anggun sembari menghidupkan perekam suara di ponselnya—tentu saja tanpa sepengetahuan Joni. “Jon, saudara kandung Gun cuma Tri seorang, ya?” tanyanya sembari mengangkat wajahnya menjauhi ponsel.
“Iya. Kenapa?”
“Tadinya kupikir dia yang bontot.”
Anggapan Anggun sama sekali tidak mengejutkan Joni. “Karena mak dan ayahnya sudah tua, ya?”
“Maksudnya?” Anggun tampak kebingungan.
“Makanya Gunawan harus segera menikahi Rosela.”
Anggun tertawa sembari menutup muka dengan tangannya. “Waduh benar-benar nggak habis-habisnya bahan candaan kamu, Jon! Apa hubungannya?”
“Aku nggak bohong ...”
Anggun segera menurunkan tangannya.
“… dia memang diminta secepatnya menikah,” lanjut Joni, “dia sendiri yang bilang begitu.”
“Secepatnya?”
“Tapi jangan tanya-tanya dia, ya?” Raut muka Joni tampak serius. “Biar dia sendiri yang ngomong ke kamu.”
“Oh, begitu.” Dalam hatinya Anggun masih belum bisa mempercayai perkataan Joni.
“Maunya ayahnya dia cepat-cepat punya anak. Ayahnya nggak mau dia terlambat membesarkan anak-anaknya. Makanya harus secepatnya menikah. Pokoknya jangan sampai seperti ayah dan maknya yang telat menikah.”
Anggun mengangguk-angguk. “Begitu, ya?”
“Kamu pasti anak sulung.”
“Bukan. Aku yang terakhir dan perempuan seorang. Abangku dua. Keduanya sudah berkeluarga. Tinggal dan bekerja di Jerman setelah selesai kuliah di sana.”
“Wow, keren banget!”
“Jon, saat di rumahmu kemarin kulihat ada selembar foto di lemari.”
“Foto ayah, abang dan kakakku. Mereka sudah meninggal. Sudah lama. Waktu ribut-ribut masalah politik tahun sembilan puluh delapan.”
“Keluargaku pindah ke Jerman saat keadaannya semakin gawat, Jon. Toko-toko papaku sampai dijarah dan dibakar.”
“Iya, ngeri kejadiannya. Pernah kulihat di yutub.”
“Menurutmu, kenapa sampai terjadi kerusuhan seperti itu, Jon?”
“Waduh, ngomongin yang lain aja, Ros.” Joni menggaruk-garuk kepalanya. “Masalah politik nggak ada habis-habisnya kalau dibahas.”
Anggun tertawa kecil, ia sangat maklum dengan respons yang Joni berikan, karena generasi mereka tidak mengalaminya dan hanya tahu peristiwa itu sebatas dari pelajaran sejarah di sekolah. Kebanyakan generasi muda sekarang seperti Joni, termasuk dirinya sendiri memang lebih bersemangat mendorong diri dalam aktivitas ekonomi agar memiliki kondisi finansial yang stabil. Tapi kekuatan ekonomi hanya dapat digapai secara adil dengan membangun politik yang sehat, kan?
Anggun menyadari dirinya pun sebelumnya bersikap seperti Joni. Tapi dengan adanya kompetisi menulis novel ini, ia jadi tahu lebih banyak tentang peristiwa 1998. Tentu saja ia berharap novelnya juga dibaca Joni nantinya.
Ponsel Joni berdering. Ia segera mengeluarkannya dari tas pinggangnya. “Gunawan.” Joni memberitahu Anggun sebelum menerima telepon dari Juang.
“Iya, kami di gazebo. Itu yang di dekat sepedaku. Kelihatan, kan?”
Tidak seberapa lama, Juang pun terlihat berjalan dengan langkah cepat ke arah gazebo. “Sudah lama?!” serunya dari jarak yang tidak terlalu jauh lagi.