Keesokan harinya pada pukul sebelas pas saat Juang dan Joni tiba di rumah Anggun, Bu Citra menyambut ramah. “Anggun baru saja ke Legenda. Tidak lama katanya. Ayo masuk.”
Juang dan Joni tampak sungkan. “Kami di luar saja, Bu,” ucap Juang sopan.
“Anggun memang minta kalian menunggu di ruang bukunya. Anggun bilang kalian suka baca novel.” Sebelumnya Bu Citra merasa keberatan kalau Juang dan Joni menunggu di dalam rumah, tapi setelah Anggun menjelaskan bahwa dua orang tukang listrik yang datang nanti itu adalah temannya, penyuka novel dan usianya juga sebaya dengan dirinya, barulah Bu Citra membolehkannya.
Juang dan Joni mengikuti Bu Citra. Mereka menuju lantai atas melalui tangga kayu besar berukir yang berkilap dan tampak mewah. “Banyak bacaan di dalam sana, jangan malu-malu,” kata Bu Citra sembari menunjuk sebuah ruangan yang pintunya terbuka begitu mereka berada di lantai atas. Bu Citra kemudian membalikkan badannya meninggalkan Juang dan Joni.
Dengan gembira sekaligus takjub pelan-pelan Juang melangkah, tatapannya menyusuri lautan buku dalam lemari besar tinggi yang tingginya mencapai langit-langit, yang satu dengan lainnya teratur rapat nyaris menutupi seluruh permukaan dinding. Sesekali ia berhenti sebentar, melihat-lihat beberapa novel yang tersusun rapi hingga rak bagian atas yang masih dapat dijangkau tangannya.
“Banyak betul bukunya, Gun. Kayak di toko buku.” Joni mengeluarkan sebuah majalah National Geographic Indonesia edisi lama dari rak paling bawah sebuah lemari, melihat-lihat isinya sambil mendekati sofa panjang yang menghadap ke sebuah jendela kaca besar yang dihiasi gorden warna-warni corak-corak etnik. Dari situ sambil berdiri ia memperhatikan sebentar pemandangan hamparan taman di bawah yang dibatasi tembok tinggi putih, lalu duduk dengan santainya di sofa itu, menyandar dan membenamkan tubuhnya dalam-dalam di tempat empuk itu saat mulai melihat-lihat lagi halaman demi halaman majalah yang dipegangnya.
Sepuluh menit berlalu Anggun pun pulang. Setelah memasukkan mobil ke garasi, dengan penuh semangat cepat-cepat ia menemui Juang dan Joni. Begitu tiba di depan pintu ruang menulisnya, sembari terus melangkah masuk ia berseru dengan riangnya, “Gun, novel sastra klasik terjemahan di lemari itu, tempatnya paling atas!”
Juang dan Joni yang tengah asyik-asyiknya membaca sedikit kaget oleh kehadiran Anggun yang tiba-tiba saja itu. Keduanya refleks menoleh.
“Ambilnya pakai bangku itu!” tunjuk Anggun ke sebuah bangku kayu yang terletak di pojokan.
“Novel jadul?” tanya Joni.
“Koleksi papaku sedari muda. Yang terbit tahun dua ribu ke atas dan yang terbaru ada di bawah, di lemari buku yang dekat tangga. Tapi banyak yang belum dibacanya.”
“Pasti bingung milihnya,” celetuk Joni, “yang mana mau dibaca duluan, Gun?”
“Maaf ya. Aku harus ke Legenda lebih dulu tadi.” Kini Anggun merendahkan suaranya.
“Pinginnya sih baca semuanya.” Tatapan Juang menyusuri buku-buku dalam rak paling atas.
“Yang ada di sini semuanya boleh dipinjam.”
“Yang di bawah yang tidak dipinjamkan ya, Ros?” celetuk Joni lagi.
“Yang di sana itu belum boleh,” jawab Anggun terkikih sembari menarik kursi putar dari kolong meja menulisnya yang membelakangi sofa. “Eh, gimana rencana kover lagu ke yutubnya?!” Kini suaranya terdengar melengking lagi.