Setelah dirawat selama satu minggu cidera kaki Joni kian membaik, namun jalannya mesti dibantu tongkat kruk. Tiga hari kemudian begitu diperkenankan meninggalkan rumah sakit, ia langsung dibawa menziarahi makam ibunya oleh Juang. Sepulang dari sana, sehabis makan siang ia berbaring seharian di kamar Juang; menahan kesedihannya hingga tertidur, dan terbangun saat suara minyak panas beserta aroma gorengan pisang kepok yang tengah digoreng Bu Soraya merasuki kamar itu lewat dua kotak lubang angin kosen pintunya. Joni bangkit meraih tongkat lalu melangkah perlahan menuju dapur.
“Duduk, Jon,” kata Bu Soraya seraya membolak-balik gorengan pisang di dalam wajan, “sebentar, Mak bikinkan kopi. Bubuk kopimu ikut diambil Juang tadi saat menutup jendela rumahmu.”
Pada saat yang sama, Kidung tiba di rumah itu dengan motor scoopy-nya. Ia disambut Juang yang tengah menggarami belimbing wuluh ibunya.
“Kid,” Juang menyapa sambil membuka pintu pagar, “masuk, Kid.”
Kidung pun mendorong motornya masuk ke pekarangan.
“Sebentar, aku lihat Joni apa sudah bangun.”
Kidung cepat-cepat mencegah Juang yang hendak masuk ke rumah. “Jangan, Ang. Kalau masih tidur jangan dibangunin, besok aja aku ke sini lagi.”
“Sudah lama tidurnya. Ayo Kid masuk ke rumah.”
“Di teras aja, Ang.”
“Bang Joni, sudah bangun, Kak. Lagi makan gorengan di dapur,” kata Tri yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah dengan agak berlari mengarah ke rumah Adi.
“Hai Tri,” sapa Kidung, “mau ke mana?!”
Tri tidak berhenti, hanya menoleh sepintas lalu, “Main PS Kak di rumah Adi. Bosan baca buku melulu!”
Saat Juang ke dapur, Joni tengah memasukkan gula ke dalam gelas kopinya dan ngobrol dengan Bu Soraya.
“Jon, ditunggu Kidung di teras.” Juang memberitahu sambil terus berjalan ke kamarnya.
“Nanti kopimu itu dan teh untuk Kidung sama gorengannya Juang yang bawakan ke teras. Sana jumpai Kidung,” kata Bu Soraya.
Joni membungkuk mengambil tongkatnya yang ia letakkan di lantai bawah meja. Selang beberapa saat kemudian, Juang membawa nampan berisi sepiring gorengan dan secangkir teh hangat beserta kopi Joni yang tadi belum sempat diminumnya ke teras.
“Waduh, Ang! Aku malah merepotkan Mak,” kata Kidung.
“Kid, aku keluar sebentar. Jemput Ayah di toko,” kata Juang setelah meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja kecil yang berada di depan Kidung dan Joni.
*
Sudah beberapa hari kelanjutan outline novelnya terabaikan karena banyaknya pekerjaan yang mesti diselesaikannya di Legenda. Malam ini ia masuk ke ruang buku dan langsung duduk di meja menulisnya. Saat menghidupkan laptop tatapannya tertuju ke selembar amplop foto yang dulu ditemukan oleh Juang. Ia mengambilnya, membuka penutupnya, lalu mengeluarkan isinya: tiga lembar foto. Dan, alangkah gembiranya Anggun. Ternyata foto jadulnya foto di hari acara pernikahan ayah dan ibunya. Keduanya tersenyum gembira duduk di atas pelaminan. Ia melihat foto lain. Masih di tempat yang sama dan dalam pakaian pengantin ayah dan ibunya berdiri diapit oleh kedua abangnya yang masih kecil. Ia segera melihat foto yang ketiga: saat ijab kabul. Berdasarkan tanggal yang terlihat di bagian bawah foto, semua momen itu diambil di hari yang sama.
Anggun menghempaskan tubuh di sofa. Tatap matanya mengarah ke bagian rak buku tempat Juang menemukan foto tersebut, lalu memperhatikan lagi foto yang kedua. Kenapa Bang Arvin dan Bang Danis ada di situ? Anggun menyadari ada sesuatu … ada kejanggalan dengan foto itu.
Anggun segera membawa amplop foto itu turun, ia menemui Pak Bassam yang tengah membaca buku di ruang keluarga.
“Papa ….”
“Belum tidur, Ang?”
“Masih jam segini disuruh tidur.” Anggun menduduki sofa panjang di depan Pak Bassam.
Pak Bassam tertawa dan menutup buku yang tengah dibacanya. Anggun senang dengan pembawaan sang ayah yang santai. Ia memang tidak ingin terlihat terlalu serius.
“Cerita lagi tentang peristiwa tahun sembilan delapan, Pa?”
“Mau Papa ceritakan tentang apa lagi, ya?”
“Dulu saat Ang SMP, Papa sudah menceritakan asal-usul leluhur Papa. Papa memang otomatis muslim karena Kakek sudah mualaf sebelum menikahi nenek. Papa menikah dengan Mama tahun berapa?”
“Tahun sembilan puluh delapan,” jawab Pak Bassam spontan.
Anggun tersenyum dalam hati. “Ang bangga sama Papa yang tidak suka menutupi realitas.”
Pak Bassam baru saja menyadari ia keceplosan tapi itu bukan masalah baginya. “Untuk kebaikan ada saatnya tidak boleh lagi menutup-nutupi sesuatu yang memang sudah waktunya mesti diketahui. Dan Papa memang tidak pernah bohong, kan?”
Senyum Anggun semakin mengembang. Ia mengangguk-angguk. “Papa sangat pintar.”