Gunawan dan Rosela

Dirman Rohani
Chapter #15

#15

Dua Minggu kemudian.

Sambil membuka toko Juang menelepon Anggun, “Ros, lampu tamannya ditunda lagi, boleh?”

“Santai aja, Gun. Gimana kabarnya Joni, Gun?”

“Jalannya masih dibantu tongkat.” 

“Sulit ya kalau dikerjakan sendirian?”

“Iya, aku juga mau siap-siap tes PLN.”

“Ayo semangat Gun!”

“Tapi begini aja….”

Lalu Juang memberitahukan bahwa ia bisa meminta bantuan tukang listrik lain untuk mengerjakannya dan Anggun juga bisa tentukan sendiri kapan waktunya. Anggun setuju, memaklumi situasi Juang saat ini. Dan karena tokonya masih sepi Juang pun segera fokus menjawab soal-soal di buku bank soal yang dibelinya dulu.

Satu minggu kemudian, juga pada hari Minggu, giliran Anggun yang menelepon Juang, bertanya kabar Joni, juga tentang kesiapan Juang mengikuti tes rekrutmen karyawan PLN. Juang tertawa dan berkata pusing. Lalu dengan nada kelakar Anggun menyarankannya supaya merilekskan diri. “Duduk-duduk di kafe yang dulu kita nggak jadi ke sana itu, yuk.”

Dengan gembiranya Juang langsung menerima tawaran Anggun, lagian saat ini ia memang ingin keluar dari rutinitasnya itu barang sebentar. Dan sebenarnya, sebelum ditelepon, ia memang hendak menelepon Anggun. Ada yang ia ingin ceritakan tentang Joni.

“Sekalian temani aku ke pasar ya, Gun?”

“Ngapain?”

“Lihat-lihat suasana di dalam pasar, buat novel baruku.”

“Belum pernah ke sana?”

“Belum.”

“Pasar yang terdekat aja, ya?”

“Ajak Joni, Gun.”

“Lagi di rumahnya. Barusan minta diantar. Mau nyapu-nyapu katanya.”

“Sudah lancar jalannya, Gun?”

“Masih pakai tongkat. Nantilah kuceritakan.”

“Motormu sudah selesai diperbaiki, kan?”

“Sudah. Tidak terlalu parah rusaknya. Ditabrak dari belakang,” lalu nada bicara Juang terdengar serak dan mengecil, “tapi … mungkin karena ibu Joni pada saat jatuh … kepalanya terbentur trotoar.”

“Iya, memang sudah sampai ajalnya beliau di situ ya Gun,” sambung Anggun lirih.

Sejenak keduanya diam dengan ponsel di tangan yang masih menempel di telinga—terbayang kondisi Joni sekarang.

Juang segera mengendalikan perasaannya. “Jam berapa kita ke sana?” tanyanya.

“Sekarang. Jemput aku sekarang, ya?”

“Pakai motor?”

“Aku tunggu tapi bukan di rumah. Aku di bengkel mobil sehat, tahu kan?”

“Yang sebelum kafe itu, kan?”

“Iya.”

Setelah meminta izin keluar pada ibunya, Juang mengeluarkan motornya dari teras.

“Bang, mau ke Legenda ya.” Tri yang mencuri dengar obrolan Juang, dengan langkah cepat mendekati abangnya itu, “Ikut!” Ia langsung melompat ke jok motor, duduk di bagian belakangnya dengan gembiranya, “Janji nggak minta macam-macam.”

“Bukan mau ke sana.” Juang melempangkan lagi cagak motor lalu mengendong Tri dari belakang untuk menurunkannya.

“Kalau nggak ke sana memangnya mau ke mana?”

Juang tidak menjawab, ia bergegas naik ke motor, menstarternya, lalu langsung tancap gas.

“Mau pacaran ya?!” seru Tri jengkel.

“Tri, tidak baik ngomong begitu,” kata Bu Soraya yang baru saja keluar dengan membawa nampan berisi belimbing wuluh. 

*

Sepuluh menit setelah Juang keluar, Pak Najib datang bermaksud menemui Joni. Ia disambut oleh Pak Hikmat yang tengah duduk-duduk di teras rumah. Mereka pun ngobrol-ngobrol santai beberapa saat.

“Kalau begitu, saya ke rumahnya langsung, Bang.”

“Iya Jib, mungkin lama dia di sana, nunggu dijemput Juang.”

Pak Najib kemudian pamit dan bangkit dari bangku teras.

*

 

Begitu Juang berhenti di pinggir jalan, tidak jauh dari parkirannya bengkel itu, Anggun pun beranjak keluar dari ruang tunggunya seraya mengenakan jaket jeans hitam yang dibawanya. Sejenak, Juang terpana melihat penampilan Anggun. Mengingatkannya pada masa-masa ketika mereka sering bertemu di dalam bis sekolah.

“Mobilnya kenapa?” tanya Juang sambil mengeluarkan helm satu lagi dari bagasi motor saat Anggun sudah di dekatnya.

“Ganti oli.” Anggun mengambil helm yang diberikan Juang.

Sementara itu dalam keramaian jalan raya sebuah toyota land cruiser melintas di jalur lain dari arah berlawanan.

“Pa, itu kan Anggun.” Bu Citra berpaling melihat keluar dari kaca pintu mobil.

Lihat selengkapnya