“Terima kasih, Ibu. Nanti bahan kain lainnya kalau butuh tambahan lagi telpon saja, bisa kami antarkan ke rumah Ibu,” ucap Kidung ramah selagi menyertai seorang pelanggannya keluar, dan begitu sudah di depan toko, saat matanya melepas pelanggannya itu pergi, di jarak yang tidak terlalu jauh lagi dari tokonya terlihat Juang dalam keramaian pasar.
“Masih jauh, Gun?” tanya Anggun yang mulai berkeringat.
“Itu tokonya.”
“Yang di depan kita itu?”
“Itu dia, Kidung.”
Tatapan Kidung beralih pada sosok yang berjalan di samping Juang. Muncul tanya dan duga di kepala Kidung. Itu pasti Anggun Rosela, penulis, juga pemilik toko buku besar itu. Ia kagum dengan keberanian Anggun mengelola toko buku besar itu. Beberapa saat kemudian barulah semuanya terjawab. Begitu mereka berdua tiba di tokonya, Anggun langsung diperkenalkan kepadanya oleh Juang.
“Duduk di dalam, yuk.” Kidung buru-buru masuk mengambil dua bangku duduk pelanggan dan meletakkannya di dekat bufet parfumnya.
“Duduk, Ros.” Kenyataannya, ia memang sudah tahu tentang panggilan nama Anggun yang diubah Joni menjadi Ros, dan tentu saja membuat Anggun kaget.
Sembari mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka keringat di keningnya Anggun melirik Juang sepintas lalu. Ros, selama ini hanya Juang dan Joni yang memanggil dirinya dengan nama panggilan itu kan? Batinnya.
“Duduk Gun,” lanjut Kidung.
Mendengar panggilan namanya juga berubah, spontan saja Juang tertawa, “Joni yang beritahu, kan?”
Kidung tak mampu menahan senyum. “Iya, tadi Joni nelpon,” nada bicaranya terdengar gembira, ia lalu menghidupkan kipas angin dan mengarahkan embusannya kepada Anggun.
“Terima kasih, Kid.” Anggun merasa lega.
“Dengan ponsel?” Juang tampak ragu.