“Lama sekali di bengkel, Ang?” tanya Bu Citra begitu Anggun selesai menutup pintu garasi.
“Duduk-duduk di kafe dan jalan-jalan ke pasar, Ma. Lihat-lihat suasananya buat bahan novel.”
“Ke pasar?”
“Ang minta bantu Gunawan menemani Ang, Ma.” Anggun mendekati ibunya. Perhatiannya tertuju pada anggrek yang tengah digantung oleh Mang Sarbin di sebuah pohon mangga. “Cantik sekali, hati-hati Mang.”
“Tadi Dipa ke sini, ada perlu sama Ang. Katanya Ang tidak angkat telponnya?”
Hm, urusan sama Dipa belum kelar juga rupanya, batin Anggun seraya berusaha menutupi rasa tidak sukanya pada pertanyaan ibunya itu dengan segera mengecek panggilan tak terjawab di ponselnya. “Nggak terdengar, Ma. Ramai di pasar.”
“Mama tahu, kalau Ang sejak SMA, sejak suka menulis, Ang suka jalan-jalan buat mendapatkan idenya, tapi biasanya kan selalu sendirian dan hanya dengan duduk di dalam bis, kereta api, atau transportasi umum lainnya. Dulu saat ke sekolah dan ke kampus, Ang tidak mau diantar jemput Papa, maunya naik bis, tidak jadi masalah buat Mama.” Tatapan mata Bu Citra memang sudah tampak kurang senang ketika Anggun menyebut nama Juang. “Tapi kini masalahnya, Ang jalannya sama orang yang baru Ang kenal.” Tangan Bu Citra dengan cekatan kembali merapikan rumpun anggrek lain yang baru dibelinya.
“Gunawan dan Joni, mereka baik, Ma. Ang mau mindahin bahan novel ke laptop, Ma.” Anggun segera masuk ke rumah.
*
Juang sudah ditunggu-tunggu Joni di depan rumah. Begitu ia tiba, Joni mengangkat tangan kanannya memperlihatkan serangkai anak kunci. “Gun, kata Pak Najib lihat dulu barangnya, kalau cocok, Kamis nanti menyusul akta jual belinya sama surat-surat lainnya!”
“Ayo, kita ke sana!” Juang memutar balik kepala motornya, tidak jadi dimatikan mesinnya. Tapi sebelum ia dan Joni berboncengan, sekonyong-konyong Tri keluar dari rumah dengan memotong jalan Bu Soraya yang sudah berada di ambang pintu.
“Ikut!” teriak Tri senang sambil melompat ke jok bagian belakang motor.
“Hati-hati Tri,” kata Bu Soraya yang hendak membolak-balik jemuran belimbing wuluhnya.
“Kedepan lagi.” Dengan pangkal tongkat kruknya Joni menolak pelan bahu Tri.
Tri bantu memegang tongkat kruk itu saat Joni hendak duduk di belakangnya.
Setelah mereka melewati pintu pagar dan tak terlihat lagi, Bu Soraya termenung sejenak. Tersenyum-senyum sendiri. Geli hatinya. Aneh rasanya. Sudah beberapakali didengarnya, Juang dipanggil Gun oleh Joni.
*
Luar dalamnya sangat baik kondisinya, warna catnya pun masih cemerlang. Usia bangunan bekas kafe itu baru lima tahun, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan Joni. Tanah kosong di depan dan di sampingnya yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat parkir tampak bersih dan terawat, bebas dari sampah dan rumput liar.
Joni dan Juang berkeliling-keliling sambil membicarakan tentang dekorasinya. Obrolan mereka sesekali ditimpa suara Tri yang minta pulang karena mulai bosan dan merasa lapar.
“Kata Pak Najib lokasinya memang sangat strategis buat bisnis kafe, penyewa dulu memilih tidak melanjutkan usahanya karena pademi korona,” kata Joni.
“Semoga lancar usahamu, Jon.”
Joni mengaminkan, disusul pula Tri dengan melantangkan suaranya.
“Joni kafe?”
Joni menggeleng. “Ah, diolok-olok netizen nanti, dianggap ikut-ikutan seperti kedai kopi Johny.”
Juang tertawa. “Mana tahu kan, Bang Hotman bakalan sering nongkrong juga di sini?”
“Namanya … yang gampang diingatlah,” lanjut Joni sambil memutar badannya. “Ayok, Tri. Kita pulang.”
“Ayok!”
*