Gunawan dan Rosela

Dirman Rohani
Chapter #18

#18

Semua orang berusaha menyambut Senin dengan semangat baru. Pun demikian Juang, pagi-pagi sekali sudah berada di tokonya. Ia sengaja datang duluan menggunakan sepeda Joni agar sewaktu toko masih sepi bisa menggeluti lagi buku bank soal tes CPNS dan BUMN-nya. Seiring matahari mencerahkan langit, satu, dua, hingga belasan soal dapat diselesaikannya tanpa kendala. Tapi kemudian saat tengah mengerjakan sebuah soal tentang rangkaian listrik yang semestinya juga mudah baginya, konsentrasinya buyar seketika, ia dikejutkan oleh suara berdebum knalpot motor yang digeber-geber. Juang mengangkat wajah, melihat keluar dari kursi meja kasir yang didudukinya. Tampak sebuah motor gede berhenti di depan tokonya—pengendaranya yang bersepatu bot hitam berkilap tengah mencagak penyangga mogenya itu dengan gerakan kaki yang terkesan kasar dan angkuh.

Did turun dari mogenya setelah mematikan mesinnya. Gaya berjalannya tampak kaku tanpa terlihat terayun sedikitpun lengannya, tapi langkahnya cepat. Ia masuk ke toko sambil menghampiri Juang. “Pagi!” serunya dengan suara ngebas nyaris menyerupai suara knalpot mogenya.

Juang berdiri menyambut pelanggan pertamanya hari ini. “Ada yang bisa saya bantu, Bang?” tanyanya dengan sopan.

“Gua mau nambah stopkontak listrik!”

“Butuh berapa banyak, Bang?” Juang menyambut gembira setelah mempersilakan Did duduk.

Did menggoyang-goyangkan bangku kayu bulat yang terletak tepat di depannya, memastikannya cukup kokoh, mampu menahan berat badannya. Sambil duduk ia memperhatikan sekilas coretan-coretan di sebuah buku tulis yang menimpa sebuah buku cetak, yang terhimpit kedua lengan Juang.

“Dua puluh.” Did menurunkan volume suaranya, menyadari misi yang tengah diembannya. Ingin tampak ramah ia lalu mengembangkan senyum. “Untuk treadmill, dipasang sekarang ke tempat gua, bisa?”

“Di mana, Bang?”

“Dipa Gym, tau kan?”

“Tau lah Bang. Sport Center paling terkenal dan terbesar.”

“Dipasang sekarang, bisa, kan?”

“Begini, Bang. Nanti saya minta teknisi listrik kenalan saya ke sana.”

“Bos gua, maunya lo yang kerjakan. Pacarnya yang merekomkan lo. Kerjaan lo rapi katanya.”

“Bisa aja si bos itu, Bang ….” Juang kemudian terdiam dan berpikir sejenak.

“Baiklah, Bang. Tapi jam sembilan atau sepuluh baru bisa saya ke sana,” lanjutnya, “sebab saya harus menunggu ayah saya dulu, kalau ayah saya sudah di sini baru saya bisa keluar.”

“Biayanya?”

“Kita hitung dulu, Bang. Kira-kira berapa panjang dindingnya, Bang?”

Setelah Diduk memberitahukannya, Juang segera menekan kalkulator, lalu memberitahu total harga bahan dan ongkos kerjanya.

Did membuka dompetnya. “Gua bayar harga bahannya dulu, ya?”

“Boleh, Bang.”

Did menyerahkan sejumlah uang kepada Juang.

“Namamu, Bang?”

“Diduk.”

“Terima kasih, Bang.” Juang menyerahkan faktur bukti terima kepada Did.

“Oke, gua tunggu di gym.”

“Saya Juang, Bang. Baik, akan saya siapkan bahan-bahannya sekarang juga, Bang.”

“Oke, gua tunggu di gym.” Did bangkit dari duduk dan langsung keluar menuju mogenya.

*

Pukul sembilan saat Pak Hikmat tiba di toko, Juang baru saja selesai memuati ransel besarnya dengan beberapa gulungan kabel listrik, stopkontak, juga peralatan kerjanya. Ia hendak keluar untuk memasang stopkontak listrik di Dipa Gym karena pemiliknya tidak bersedia dikerjakan oleh tukang listrik lain, Juang memberitahukan tujuannya itu sebelum Pak Hikmat bertanya. Pak Hikmat mengiyakan dengan berat hati. “Kapan kamu belajarnya, Ang? Kalau terus-terusan kerja.”

Juang bergegas menaikkan ranselnya ke ruang kaki motornya. “Nggak lama, Yah. Bisa Ang kerjakan sendirian.”

Karena teramat penasarannya, kali ini Juang mengendarai motor matiknya dengan kecepatan sedikit lebih kencang daripada kebiasaannya, nyaris 80 km per jam. Meskipun Dipa Gym sangat terkenal, ini kali pertama ia ke sana. Biasanya hanya memperhatikannya saja sambil lewat, terkagum-kagum pada gedungnya, yang dari luar saja sudah tampak mewah dan modern. Setahunya, Joni juga belum pernah ke situ, dan walau kini tidak bisa mengajaknya, ia juga tidak perlu bantuan tukang listrik lain, ini pekerjaan ringan, mampu dikerjakannya seorang diri. Namun, bukan hanya karena sangat terkenalnya tempat itu yang telah menimbulkan rasa penasaran mendadak di hatinya. Bukan itu.

Sepanjang jalan ia terus memikirkan perkataan Diduk: Bos gua, pemilik gym, maunya lo yang kerjakan. Pacarnya yang merekomkan lo.

Pacarnya yang merekomkan lo.

Pacarnya ….

Lihat selengkapnya