Keesokan harinya.
“Ang, ditunggu Joni di rumah!” seru Pak Hikmat dari depan toko.
Juang segera keluar. “Masih jam sembilan, Yah.”
“Jangan menunda-nunda. Masih banyak hal yang harus Joni kerjakan. Yang bisa diselesaikan sekarang, selesaikanlah sekarang juga. Memang begitu awal-awalnya kalau memulai usaha dari nol,” Pak Hikmat turun dari motor, “Sore nanti Ayah mau pulang dengan sepeda lagi. Rasanya mulai enakan kaki Ayah.”
Mendengar perkataan ayahnya itu, semangat untuk terus mendukung Joni dalam diri Juang semakin menyala-nyala. Ia pun segera menjemput Joni, menemaninya mencairkan tabungan emas yang diinvestasikan mendiang ibunya di outlet Pegadaian.
*
Sementara itu di Legenda, di dalam ruangannya Anggun pun tengah sibuk dengan pekerjaannya. Setelah melihat layar ponselnya, tatapannya kembali tertuju laptopnya. Jangan menghiraukan panggilan telepon pemasaran yang tidak penting di jam kerja—Anggun beranggapan demikian karena yang barusan berulang kali menelepon ternyata Dipa. Sepuluh menit sebelumnya, Dipa mengirim pesan lewat WhatsApp: menawarkan kepada Anggun kelas mingguan senam zumba di Dipa Gym dengan instruktur berlisensi.
Walaupun tidak direspons, Dipa pantang menyerah, ia akan terus mendekati Anggun. Ia menelepon Diduk. “Did, ke ruangan gua sekarang juga.”
“Siap,” jawab Diduk, di tangan kirinya tampak seekor anak kucing.
Diduk menghampiri seorang petugas cleaning service. “Bang, Bang, bantuin gua,” ia menyerahkan seekor anak kucing liar yang menyelonong, “bawa keluar.” Diduk lalu berjalan cepat menuju ruangan bosnya.
*
“Ke Legenda kita, Bos?” tanya Diduk setelah menutup pintu, ia berharap siang nanti mendapatkan traktiran lagi.
Dipa duduk diam saja di kursinya, ia tengah memikirkan siasat berikutnya. Hampir semenit juga lamanya Diduk berdiri mematung, hingga Dipa menunjuk kursi yang berada di depannya.
Perlahan Diduk duduk.
“Lo, keringatan banget.”
“Si Oyen masuk lagi.”
“Minta bantuan Satpam.”
“Sudah berhasil gua tangkap. Sudah dibawa CS ke luar.”
“Sekarang, lo pantau lagi si Juang itu.”
“Siap, Bos.”
“Pakai mobil.” Dipa mengeluarkan salah satu kunci mobilnya dari laci meja kerjanya dan melemparkannya ke tangan Diduk.
*
Di depan pintu outlet pegadaian ponselnya berbunyi, Joni menghentikan langkahnya dan mengeluarkan ponselnya dari tas pinggangnya sambil bergeser ke pinggir. “Boleh, boleh Bos. Saya sedang sama Juang. Nanti kami ke sana.”
Joni memutar badannya, balik ke parkiran, tempat Juang menanti.
“Ada apa, Jon?”
“Kata Pak Najib, kawannya yang pernah menyewa kafe itu masih menyimpan semua peralatan kafenya. Kata kawannya, dulu dia beli baru semuanya, kalau ada yang minat, dilepas setengah harga.”
“Alamatnya?”
Joni mengeluarkan lagi ponselnya, membuka WhatsApp. “Ini nomor hp-nya dan alamat rumahnya. Pak Najib kalau kasih info mana pernah setengah-setengah. Katanya cek dulu, pastikan benar-benar masih baik kondisinya.”
“Ayo, kita ke sana!” Juang semakin bersemangat.
“Cairkan ini dulu, kalau uang sudah masuk HP, kondisi barangnya oke, kita sikat!”
“Makanya cepat Jon, jangan sampai disambar orang.”
“Gebetan tuh yang bakal disambar orang kalau lambat.” Joni memutar badan dan dengan tergesa-gesa menyeret tongkatnya, ingin terlihat berjalan cepat.
Juang tertawa. “Ya udah santai aja woi! Kalau sudah jodoh, ya jodoh.”
*
Dari dalam mobil yang diparkirnya di depan sebuah toko, setiap lima menit sekali Diduk meneropong ke toko Tukang Listrik yang berada di seberang jalan. Sudah tiga kali meneropong, yang dicarinya belum juga terlihat batang hidungnya. Habis sudah kesabarannya, ia pun menghidupkan mesin mobil. Tujuan berikutnya memantau rumah Juang. Tapi di tengah perjalanan muncul keraguan. Kalau berhenti terlalu lama di tempat itu takutnya dicurigai sebagai maling oleh orang-orang di sekitar.
Diduk menepikan mobil dan menelepon. “Hampir setengah jam gua di depan tokonya, Bos. Nggak kelihatan juga si Jung itu. Bapaknya yang ada.”
“Coba lihat di Legenda, mungkin dia di sana!”
“Siap, Bos.”