Hari-hari berlalu. Dipa dan Diduk dipenjara karena perbuatannya, dan Juang sudah keluar dari rumah sakit, kondisinya semakin membaik, memar di pipinya mulai menghilang, hanya lengannya yang masih terasa sakit sedikit, mungkin karena di bagian itu lebih banyak terkena pukulan saat ia melindungi wajahnya.
Juang mulai mempersiapkan dirinya lagi untuk mengikuti tes rekrutmen karyawan PLN yang akan dimulai beberapa hari lagi. Sementara itu Joni juga sangat sibuk dengan kafenya, dibantu Kidung, sekarang memasuki tahap merekrut pekerja. Dan Anggun, baru saja menyelesaikan bab satu naskah novelnya.
Setelah melewati berbagai tes dan lulus tahap demi tahap proses rekrutmen akhirnya Juang diterima menjadi karyawan PLN dan ditugaskan ke Aceh. Pada hari keberangkatannya ke Aceh saat di kursi tunggu bandara Joni bertanya dengan suara kecil, “Gun, kalian sudah jadian, kan?”
Juang menyikut pinggang Joni. “Belum.” Suaranya nyaris seperti berbisik, takut didengar ayah dan maknya, juga Kidung, dan tentu saja didengar Anggun.
“Kamu ngapain aja sebelum kita berkelahi dengan—”
“Sudahlah, Jon. Jangan bahas itu lagi. Semoga mereka insaf, nggak mengulangi perbuatan seperti itu lagi.”
Joni mengaminkan dengan volume suara yang juga masih dikecilkan.
*
Keesokan harinya pada pukul 13.30 Anggun mengarahkan mobilnya ke sebuah kawasan yang dikenal sebagai tempat servis peralatan elektronik. Setiba di kawasan tersebut ia memelankan laju mobilnya, dan semakin pelan saat melewati satu deretan pertokoan seraya membaca satu demi satu papan namanya, kemudian berhenti segera di depan papan nama sebuah toko bertuliskan: Tukang Listrik.
Ia menghidupkan perekam suara di ponsel sebelum turun dari mobil dan masuk ke toko itu.
Pak Hikmat menyambut senang kedatangan Anggun. “Duduk, Nak.”
“Ayah, saya butuh bantuan Ayah.”
“Apa yang bisa Ayah bantu, Nak? Ada masalah dengan listrik di Legenda?”
“Saya ingin tahu kejadian di tahun sembilan delapan dulu saat toko mama saya dibakar.”
Pak Hikmat terdiam sejenak.
“Sudah lama sekali kejadiannya, Nak.”
“Papi yang menyuruh saya datang ke sini. Papi bilang, Ayah yang menyelamatkan Papi dan Mama.”
Pak Hikmat terdiam lagi, ia mencoba mengingat-ingat ketika berada di belakang sebuah ruko yang baru ditempati Bu Citra.
“Waktu itu sekitar jam sembilan Ayah dan seorang teman kerja sedang di belakang toko mau ganti bola lampu yang putus. Baru beberapa menit kami di situ, terdengar suara ribut-ribut. Ayah segera turun dari tangga karena keadaan sekitar mulai dipenuhi asap. Kata teman kerja Ayah yang beberapa saat sebelumnya pergi melihat ke sana, banyak orang di depan toko dan ada yang sedang membuka paksa pintu toko Bu Citra, yang lain mengambil barang-barang di toko-toko sekitar, mereka juga membakar isi toko. Ayah dobrak pintu belakang karena terlihat banyak sekali asap keluar dari lubang anginnya. Saat Ayah masuk, Bu Citra baru saja jatuh pingsan di lantai dapur. Bu Citra sedang mengandung kamu saat itu.”
“Mengandung saya, Yah?” Anggun tersentak.
“Iya, kalian kan sebaya. Maknya Juang juga lagi mengandung Juang.”
“Juga ibunya Joni.”
“Iya, betul. Kalian bertiga sebaya.”
“Terus, Yah?”
“Saat Ayah bawa Bu Citra keluar, Papi sudah ada di belakang ruko sama Sarbin. Papi bilang: Bang Hikmat tolong antar kami ke bandara. Awalnya Ayah bingung juga kenapa tidak ke rumah sakit. Saat mau jalan baru Ayah mengerti keadaannya memang sudah lain.”
“Sudah lain gimana, Yah?”
“Terdengar teriakan-teriakan bunuh dan kata-kata kotor.”
“Ke bandara naik mobil, Yah?”
“Iya, mobil pikap yang kami bawa buat kerjaan, milik bos kami, yang punya perusahaan instalatur listrik.”