Gundah: Sebuah Catatan Penantian

Nita Roviana
Chapter #1

Bab 1-5

DARI SINI SEMUA BERMULA

Bogor, Oktober 2017

“Beri aku satu alasan kenapa kamu bisa menaruh harapan kepadaku?” tanyamu setelah aku mencurahkan isi hati kepadamu. Seseorang yang secara tak sengaja aku kenal sejak satu tahun lalu ketika aku masih suka berkelana. Seseorang yang berada di pulau nan jauh di sana.

“Jawabannya sederhana, karena aku yakin,” jawabku.

“Tapi, aku takut ke depannya kamu akan kecewa. Aku tahu kamu adalah orang yang baik. Aku takut, aku tidak sesuai dengan harapanmu.” Tampaknya jawaban sederhanaku tak cukup membuatmu yakin.

Aku coba mempertegasnya dengan “membawa” Tuhan, “Masa lalu sudah menjadi masa lalu, masa sekarang adalah saat ini. Sedangkan masa depan tidak ada yang tahu. Jika memang ternyata nantinya tidak baik, tidak seperti yang diharapkan, maka itu sudah kehendak Tuhan. Tuhan mungkin akan menghilangkan rasa yakinku, harapanku, dan semuanya. Namun, setidaknya aku bisa mengambil pelajaran dari apa yang aku alami. Pun aku pasrahkan semuanya kepada Tuhan jika memang itu takdir yang harus aku lalui.”

“Tapi, kenapa kamu bisa seyakin itu? Padahal jarak kita jauh, kita belum lama saling mengenal, bahkan baru bertemu satu kali kala itu. Kita juga jarang berkomunikasi. Bagaimana bisa?” tanyamu lagi.

“Baiklah, izinkan aku bertanya. Apakah untuk menjadi yakin dengan seseorang, kita harus sudah lama mengenalnya? Apakah harus berada pada jarak yang begitu dekat? Apakah harus bertemu setiap hari? Mengobrol lama? Sementara dari yang aku lihat, beberapa orang yang melakukan taaruf dengan masa pengenalan yang tidak begitu panjang dan hanya bertemu sebentar, bisa begitu yakin bahwa pasangan taarufnya adalah pilihan yang tepat untuk menjadi pasangan hidup atas izin Tuhan.

Kata orang, jodoh adalah cerminan diri. Jika aku berbuat yang tidak baik, bisa jadi jodohku di sana juga sedang berbuat tidak baik. Jika aku berusaha menjaga diri, insyaallah jodohku di sana juga sedang memperbaiki diri. Aku selalu pasrahkan kepada Tuhan. Dan aku yakin, bahwa Tuhan itu Maha Melihat.

Aku sadar bahwa yang menginginkanmu bukan cuma aku. Yang memperjuangkan dan mendoakanmu bukan hanya aku. Jika memang kamu adalah jodohku maka Tuhan akan memudahkan jalan-Nya. Namun, jika ternyata bukan, mungkin ada orang lain di sana yang doanya untuk dipersatukan denganmu jauh lebih kuat, jauh lebih dalam, dan jauh lebih bersungguh-sungguh kepada Tuhan,” jawabku.

“Begini, cinta jika dipaksakan, hasilnya tidak akan baik.” Kamu masih saja menguji keyakinanku.

“Itu benar. Aku tidak bilang bahwa aku jatuh cinta denganmu. Atau tergila-gila kepadamu. Aku juga tidak ingin memaksamu untuk menjaga hatimu untukku. Kamu bebas berteman dengan siapa saja, berkomunikasi dengan siapa saja, atau bahkan telah menaruh hati dengan wanita lain, itu tak mengapa. Aku tak berhak untuk mengaturmu. Ini hanyalah masalah pribadiku dengan perasaanku. Kamu bebas dengan hatimu. Aku hanya merasa lega karena akhirnya aku bisa mengatakan yang sejujurnya kepadamu,” kataku.

“Maafkan aku. Aku benar-benar khawatir kamu nanti kecewa. Kamu bahkan belum tahu bagaimana latar belakangku, seperti apa aku yang dulu. Aku takut harapan kamu hanya akan berubah menjadi kekecewaan.” Sekali lagi, kamu merasa aku terlalu gegabah menaruh hati kepadamu.

“Ah kamu, aku tidak terlalu mempermasalahkan bagaimana latar belakangmu. Entah itu baik, entah itu buruk. Aku tidak perlu tahu masa lalumu. Meskipun kamu menceritakannya dan itu buruk, aku akan terima. Aku tidak berhak untuk marah atau merasa tidak terima. Semua sudah terjadi dan semua sudah berlalu. Itu sudah menjadi bagian dari masa lalu kamu.

Begitu pun aku. Bagaimana latar belakang dan masa laluku yang sesungguhnya, kamu tidak tahu. Yang kamu tahu, aku hanyalah orang baik. Aku pun juga tidak sebaik itu. Setiap orang selalu punya kisah masa lalunya sendiri yang menjadikan dirinya seperti sekarang ini. Di titik ini,” aku menimpali. 

Kami terdiam sejenak sebelum dengan malu-malu aku kembali bertanya, “Jadi, setelah kamu mengetahui perasaanku, apa yang akan kamu lakukan? Apakah kamu akan merasa risi, atau biasa saja, atau mungkin kamu hanya akan mengabaikannya?”

“Tidak, jangan pernah berpikiran seperti itu. Seperti yang kamu bilang, kamu tidak berhak mengatur perasaanku maka aku pun tidak berhak mengatur perasaanmu. Lagi pula kita sudah sama-sama dewasa. Sama-sama bisa berpikir secara dewasa. Kamu akan tahu jawabannya dalam dirimu sendiri. Satu hal yang pasti, jika aku menganggap pernyataanmu biasa saja, aku tidak akan mungkin menanyakan hal seserius ini kepadamu. Maka, jawabannya kini ada di dirimu sendiri.” Jawabanmu terdengar tegas dan menenangkan.

Dan semenjak itu, perjalanan kita pun dimulai.

*****


AKU RINDU KAMU

Bandung, Januari 2018

Sudah 25 hari sejak terakhir kali kita bertemu.

Dan akan ada ratusan hari lagi hingga kita berjumpa kembali.

Lihat selengkapnya