Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #14

Surat Rahasia

Gerakan pertama dari kehidupan di dalam rahimku menjadi sauh rahasiaku. Di dunia luar, aku adalah Nyonya Van Houten tidak resmi, seorang perempuan hamil yang perutnya mulai membuncit dan gerak-geriknya semakin diawasi. Setiap pagi aku meminum susu yang disiapkan Willem, setiap siang aku berjalan-jalan di taman dengan Willem di sisiku, dan setiap malam aku membiarkannya mengusap perutku sambil berbisik tentang rencana-rencana besar untuk putranya. Aku adalah boneka porselen paling berharga, dipajang di etalase termewah dari sangkar emasku.

Namun, di dunia dalam, saat aku sendirian dalam keheningan kamarku, aku adalah seorang jenderal yang sedang menyusun strategi. Getaran kecil di perutku menjadi pengingat konstan akan apa yang kupertaruhkan. Ini bukan lagi hanya tentang balas dendam atau perlawanan abstrak. Ini tentang masa depan. Tentang menciptakan sebuah dunia di mana anakku tidak perlu menunduk di hadapan siapa pun.

Willem, dalam kelengahannya yang penuh kasih sayang, terus membawaku lebih dekat ke pusat kekuasaannya. Meja tulis di sudut kamarku kini selalu penuh dengan dokumen-dokumen dari kantor perkebunan. Ia senang bekerja di dekatku, seolah kehadiranku yang tenang bisa menjernihkan pikirannya. Ia tidak tahu bahwa ketenangan itu adalah sebuah kamuflase, dan di baliknya, mataku bekerja sekeras pikirannya, melahap setiap kata, menyerap setiap informasi.

Di sanalah aku menemukannya. Sebuah surat resmi dari kantor Residen di Semarang, berisi daftar nama. Bukan nama-nama petani miskin, melainkan nama-nama saudagar batik kaya, juragan candu, dan beberapa kepala desa dari wilayah pesisir.

Di sebelah setiap nama ada catatan-catatan singkat: "dicurigai mendanai pergerakan", "memiliki hubungan dengan kaum priyayi di Solo", "akan diawasi secara ketat".

Darahku terasa dingin saat membacanya. Ini adalah langkah berikutnya dari rencana mereka. Setelah gagal dengan intimidasi skala besar, mereka kini beralih ke taktik yang lebih licik: memotong sumber dana pergerakan. Mereka akan menghancurkan para simpatisan dari kalangan menengah, orang-orang yang menjadi tulang punggung finansial dari perjuangan Adi dan kawan-kawannya. Tanpa dana, perlawanan akan lumpuh.

Informasi ini harus segera keluar. Menunggu terlalu lama akan berarti membiarkan orang-orang baik ini masuk ke dalam perangkap tanpa peringatan. Tapi bagaimana? Dasi hijau itu telah bekerja sekali, tapi aku tidak bisa menggunakan metode yang sama berulang-ulang. Kepala pelayan kini memeriksa setiap buntalan cucian dengan lebih teliti, dengan dalih memastikan tidak ada barang pribadi Meneer yang ikut tercuci. Willem telah, tanpa sadar, menutup celah yang pernah kubuka.

Aku menghabiskan dua hari memutar otak, menimbang setiap risiko, mencari celah baru. Aku merasa putus asa. Dinding-dinding di sekelilingku seolah semakin merapat setiap jamnya.

Lalu, aku teringat sesuatu. Sesuatu yang begitu biasa, begitu sepele, hingga luput dari paranoia Willem. Surat-surat pribadi. Willem memiliki seorang kakak lelaki di Belanda, Hendrik Van Houten. Mereka saling berkirim surat sebulan sekali. Willem akan menulis suratnya yang panjang di atas kertas Eropa yang mahal, memasukkannya ke dalam amplop, menyegelnya dengan lilin merah, dan menyerahkannya pada kepala pelayan untuk dikirim melalui kantor pos di Semarang. Tidak ada yang akan berani membuka surat yang ditujukan untuk seorang Tuan di Belanda.

Di sinilah letak rencanaku. Sebuah rencana yang begitu nekat, begitu gila, hingga mungkin saja bisa berhasil.

Lihat selengkapnya