Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #15

Luka di Desa

Kemenanganku terasa seperti racun yang bekerja lambat. Di luar, dunia pergerakan merayakan keberhasilan mereka. Para saudagar yang menjadi target kini telah mengamankan kekayaan mereka, memindahkan aset, dan membersihkan buku-buku mereka, membuat operasi pengawasan Belanda berakhir dengan tangan hampa. Surat protes dari kaum priyayi, yang didukung oleh ancaman penarikan dana dari para saudagar, telah berhasil memaksa pemerintah di Batavia untuk meninjau ulang rencana pajak yang keji itu. Dari bisikan-bisikan yang dibawa Ratna, aku tahu bahwa Adi dan kawan-kawannya telah memenangkan sebuah pertempuran penting tanpa melepaskan satu pun tembakan.

Namun, di dalam sangkar emasku, aku merasakan dampak dari kemenangan itu dengan cara yang berbeda. Willem menjadi semakin tak terduga. Ia bisa bersikap sangat lembut dan penuh perhatian padaku dan kandunganku selama berhari-hari, lalu tiba-tiba meledak dalam kemarahan karena hal sepele, gara-gara segelas kopi yang kurang panas, atau suara derit pintu.

Ia telah dipermalukan.

Rencananya digagalkan, kekuasaannya ditantang, dan ia tidak tahu siapa musuh yang harus ia salahkan.

Ia seperti seekor singa yang terluka, mengaum dan mencakar ke segala arah, melampiaskan frustrasinya pada siapa saja yang berada dalam jangkauannya.

Kecurigaannya pada para pelayan semakin menjadi-jadi. Ia akan menginterogasi mereka secara acak, menuduh mereka mencuri atau bersekongkol. Rumah besar ini, yang tadinya hanya terasa dingin, kini dipenuhi oleh atmosfer teror yang pekat. Aku harus berjalan di atas seutas tali yang sangat tipis, menenangkan amarahnya sambil terus menyembunyikan rahasiaku.

Lalu, berita itu datang. Berita yang menghancurkan segalanya.

Suatu sore, seorang kurir militer datang dari Semarang, kudanya berbusa karena dipacu terlalu kencang. Ia menyerahkan sebuah telegram resmi pada Willem. Aku sedang duduk di beranda, mencoba menjahit pakaian bayi pertama dari sehelai kain katun halus. Aku melihat wajah Willem saat ia membaca pesan singkat itu. Wajahnya tidak menunjukkan kemarahan atau keterkejutan. Wajahnya menunjukkan kepuasan yang dingin dan mengerikan.

"Akhirnya," desisnya, lebih pada dirinya sendiri. "Sedikit keadilan."

Ia melipat telegram itu dan memasukkannya ke dalam sakunya. Ia berjalan ke arahku, senyum tipis tersungging di bibirnya. Senyum yang membuat darahku membeku.

"Ada kabar baik dari desamu, mijn liefste," katanya, nadanya ringan dan penuh ejekan. "Pemerintah akhirnya memutuskan untuk membersihkan sarang ular di sana."

Aku menatapnya, tidak mengerti. Jarum di tanganku berhenti bergerak.

"Pringgacala," lanjutnya, menikmati setiap kata. "Desa kecilmu yang keras kepala itu. Setelah insiden tim ukur, dan sekarang setelah para saudagar licik itu berhasil lolos, Batavia butuh sebuah contoh. Sebuah pertunjukan kekuatan untuk mengingatkan para inlanders siapa yang berkuasa di tanah ini." Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, matanya yang biru berkilat tanpa ampun. "Satu kompi marechaussee telah dikirim ke sana pagi ini. Untuk melakukan ... pacificatie."

Pasifikasi.

Kata itu lagi.

Lihat selengkapnya