Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #16

Bayi yang Lahir

Bulan-bulan terakhir kehamilanku berlalu seperti kabut yang tebal dan menyesakkan. Tubuhku terasa berat dan asing, bukan lagi milikku, melainkan sebuah wadah suci yang disiapkan untuk menimang putra mahkota keluarga Van Houten.

Willem melarangku melakukan apa pun selain bernapas. Ia membelikanku gaun-gaun longgar dari sutra dan katun terbaik, menyuruh juru masak menyiapkan makanan-makanan paling bergizi, dan akan murka jika melihatku mengangkat apa pun yang lebih berat dari sebuah buku. Ia adalah sipir yang paling berbakti, dan aku adalah tawanannya yang paling berharga.

Aku tidak lagi mencoba mengirim pesan. Setelah Pringgacala dibakar menjadi abu, aku tahu bahwa perlawanan telah memasuki babak baru yang lebih gelap dan berbahaya. Aku menarik diri ke dalam duniaku yang sunyi, membangun benteng di dalam pikiranku, dan memfokuskan seluruh sisa kekuatanku untuk satu tujuan: bertahan hidup demi kehidupan yang tumbuh di dalam diriku.

Setiap tendangan kecil dari dalam rahimku menjadi pengingat bisu akan sumpahku. Aku tidak akan gagal. Aku tidak akan membiarkan anak ini lahir di dunia di mana ia harus menunduk.

Malam itu, saat hujan deras mengguyur atap seng rumah besar ini seperti ribuan genderang perang, rasa sakit pertama datang. Awalnya hanya sebuah kram ringan, yang kemudian menegang menjadi gelombang rasa sakit yang tajam dan melumpuhkan, merobek tubuhku dari dalam. Aku menggigit bibirku hingga berdarah, menolak untuk menjerit. Menjerit adalah tanda kelemahan, dan aku tidak sudi menunjukkan kelemahan di rumah ini.

Ratna-lah yang pertama kali menyadarinya. Ia melihat wajahku yang pucat dan basah oleh keringat saat aku berpegangan pada tiang ranjang. Tanpa berkata apa-apa, ia segera bergerak, menyuruh babu-babu lain merebus air dan menyiapkan kain-kain bersih. Willem, yang terbangun oleh keributan itu, menjadi panik. Ia mondar-mandir di luar kamarku seperti singa yang gelisah, berteriak-teriak memerintahkan seseorang untuk memanggil dokter Belanda dari Semarang.

"Tidak perlu," kata Ratna tegas, menghadangnya di ambang pintu. "Sudah terlambat untuk memanggil dokter. Ini urusan perempuan. Meneer sebaiknya menunggu di luar."

Untuk pertama kalinya, aku melihat seseorang membantah Willem, dan anehnya, Willem menurut. Ia tampak begitu tersesat dan tak berdaya di hadapan proses alam yang tidak bisa ia kendalikan.

Persalinan adalah sebuah pertempuran yang brutal. Setiap gelombang rasa sakit terasa seperti hukuman atas semua dosaku, atas semua rahasia yang kusimpan. Di tengah kabut rasa sakit itu, aku tidak hanya melihat wajah Ratna yang sabar atau babu-babu yang ketakutan. Aku melihat bayangan desaku yang terbakar. Aku mendengar jeritan ayahku yang tercekik asap. Aku merasakan keputusasaan bangsaku. Dan aku mengubah semua itu menjadi kekuatan. Aku mendorong, bukan hanya untuk melahirkan seorang bayi, tapi untuk mendorong keluar semua kebencian, semua duka, dan semua amarah yang telah membusuk di dalam diriku.

Lihat selengkapnya