Gundik Sang Meneer

Kingdenie
Chapter #17

Stigma Ganda

Waktu berjalan dengan irama yang baru, ritme yang ditentukan oleh napas kecil putriku, Annelies. Hari-hariku kini diisi dengan hal-hal yang dulu tak pernah kubayangkan: menimangnya saat ia menangis, menyenandungkan lagu-lagu nina bobo dari desaku yang kini hanya tinggal kenangan, dan menatap wajahnya yang tertidur pulas selama berjam-jam, mencoba menghafal setiap lekuknya. Cinta yang tumbuh di dalam hatiku untuknya begitu besar dan dahsyat, sebuah benua baru yang muncul di tengah lautan penderitaanku.

Willem memanjakannya seperti seorang putri raja. Ia memesankan sebuah buaian kayu berukir dari Semarang, mainan-mainan dari Eropa, dan gaun-gaun kecil dari kain renda yang halus. Melihatnya begitu telaten dan penuh kasih sayang pada Annelies adalah sebuah pemandangan yang membingungkan. Aku melihat lelaki yang telah menghancurkan hidupku, namun di saat yang sama aku melihat seorang ayah yang begitu memuja putrinya. Kedua sosok itu terus-menerus berperang di dalam benakku.

Seiring Annelies tumbuh, perpaduan darah di dalam nadinya mulai terlihat semakin jelas. Kulitnya tetap secerah madu, namun rambutnya yang hitam legam membingkai sepasang mata biru yang menatap dunia dengan rasa penasaran yang polos. Ia adalah sebuah mahakarya yang mustahil, sebuah jembatan hidup di antara dua dunia yang saling membenci. Dan tak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari bahwa jembatan sering kali menjadi tempat yang paling berbahaya, karena ia diinjak-injak dari kedua sisi.

Stigma pertama datang dari duniaku sendiri. Seiring aku mulai pulih dan diizinkan berjalan-jalan di sekitar rumah, aku kadang membawa Annelies yang terlelap di dalam gendongan selendangku. Aku berharap para pelayan, para babu, dan terutama Ratna, akan melihat apa yang kulihat: seorang bayi yang tak berdosa.

Namun, yang kulihat di mata mereka adalah sesuatu yang lain. Senyum itu singgah sebentar di bibir mereka, tipis dan rapuh, tak pernah benar-benar sampai ke mata. Mereka akan memuji dengan kata-kata yang telah dihafalkan.

"Cantik sekali, Nona."

"Sehat sekali bayinya."

Tapi tidak ada kehangatan di sana. Mereka akan menghindari menatap langsung pada mata biru Annelies, seolah-olah warna itu adalah sebuah kutukan.

Suatu sore, saat aku berjalan melewati dapur, aku mendengar dua orang babu muda berbisik di dekat tungku.

"Kasihan si Nona, ya," kata yang satu. "Anaknya cantik, tapi ya ... begitu."

"Begitu bagaimana?" tanya yang lain.

"Ya ... seperti anak Londo. Nanti kalau sudah besar pasti sifatnya seperti bapaknya. Suka perintah, suka marah-marah."

"Hus, jangan keras-keras!" tegur yang pertama. "Tapi memang benar. Darah tidak bisa bohong. Itu bukan darah kita."

Aku terdiam membeku di balik dinding, setiap kata yang terucap menancap dalam, menusukku bagai ribuan jarum es.

Lihat selengkapnya