Tekad baruku yang terlahir dari kepedihan menjadi baju zirah yang tak terlihat. Di luarnya, aku adalah Laras, seorang ibu muda yang seluruh dunianya kini berpusat pada putrinya yang mungil. Aku menyenandungkan lagu-lagu pengantar tidur, mengganti popoknya, dan tersenyum saat Willem mengajaknya berbicara dalam bahasa Belanda yang belum ia mengerti. Namun di balik baju zirah itu, aku adalah seorang prajurit yang sedang mengasah pedangnya dalam diam, menunggu pertempuran berikutnya.
Pertempuran itu datang lebih cepat dari yang kuduga. Bukan dalam bentuk api atau senapan, melainkan dalam bentuk selembar surat resmi dari kantor Residen, yang diantar oleh seorang ajudan Belanda yang kaku dan tanpa senyum. Surat itu diserahkan langsung ke tangan Willem, dan aku, yang sedang menimang Annelies di beranda, melihat bagaimana wajah Willem berubah dari tegang menjadi merah padam karena amarah saat membacanya.
Ia tidak meledak. Kemarahannya kini telah melewati tahap itu. Ia hanya melipat surat itu dengan gerakan yang begitu kaku hingga kertasnya nyaris robek, lalu menatap kosong ke arah taman.
Aku tahu, surat itu bukanlah surat biasa.
Itu adalah sebuah vonis.
Malam harinya, ia akhirnya berbicara. Suasana di ruang makan terasa begitu berat dan mencekam, hanya denting sendok perak kami yang sesekali memecah keheningan. Annelies sudah tertidur lelap di kamarnya.
"Mereka telah menyelesaikan penyelidikan internal," katanya tiba-tiba, suaranya datar dan tanpa emosi. "Soal surat protes para priyayi dan bocornya daftar para saudagar itu."
Aku meletakkan sendokku, jantungku mulai berdebar. Aku memasang ekspresi bingung dan penuh perhatian.
"Hasilnya," lanjutnya, matanya yang biru menatap tajam ke arahku, seolah mencoba menembus pertahananku, "menyimpulkan bahwa kebocoran itu bukan berasal dari Semarang atau Batavia. Informasinya terlalu spesifik, terlalu rinci. Kebocoran itu berasal dari sini. Dari dalam rumah ini."
Aku menahan napas. Rasanya seperti lantai di bawah kakiku tiba-tiba menghilang.
"Ada pengkhianat di antara kita, Laras," desisnya. "Seekor tikus yang memakan fondasi rumahku sendiri. Dan atasan-atasanku di Batavia kini mempermalukanku, menuduhku tidak becus menjaga rahasiaku sendiri."
Paranoidnya yang selama ini tak tentu arah, kini memiliki sebuah target yang jelas. Ia mulai melihat setiap wajah pribumi di sekelilingnya dengan kecurigaan baru. Keesokan harinya, ia menggeledah kamar-kamar para pelayan, membalik-balik kasur mereka, membongkar peti-peti kayu mereka, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa dijadikan bukti. Ia tidak menemukan apa-apa, tapi teror yang ia ciptakan sudah lebih dari cukup. Rumah ini kini dipenuhi oleh atmosfer saling curiga, para pelayan saling melirik dengan takut, tidak ada lagi yang berani berbisik.
Dan akhirnya, seperti yang sudah kuduga, kecurigaannya mengerucut pada satu nama.