Pertemuanku dengan Adi di gang sempit itu meninggalkan luka yang tak terlihat. Kami telah saling menelanjangi jiwa kami yang ternoda, dan sebagai hasilnya, sebuah jarak yang aneh kini terbentang di antara kami. Kehangatan yang dulu kurindukan kini telah digantikan oleh rasa hormat yang dingin di antara dua prajurit yang sama-sama babak belur.
Aku kembali ke sangkar emasku, kini menanggung beban ganda: rahasiaku dan dosaku.
Di dalam rumah, aku mengamati Willem dengan kewaspadaan baru. Pengorbanan Suroto telah berhasil membelokkan badai untuk sementara, tapi aku tahu itu tidak akan bertahan lama. Willem, yang telah dipermalukan di depan para atasannya, kini menjadi pemburu yang sabar. Ia tidak lagi meledak-ledak dalam kemarahan. Ia menjadi pendiam, pengamat yang teliti. Ia akan duduk di beranda selama berjam-jam, tidak membaca, tidak minum, hanya menatap ke arah taman dengan tatapan kosong yang membuatku merinding. Ia sedang berpikir. Ia sedang menyusun ulang kepingan-kepingan teka-teki di dalam kepalanya.
Dan perlahan-lahan, tatapannya yang menyelidik mulai beralih padaku.
Bukan lagi tatapan posesif seorang tuan pada gundiknya. Bukan lagi tatapan memuja seorang ayah pada ibu dari anaknya. Ini adalah tatapan yang berbeda. Dingin, penuh perhitungan, dan menusuk. Ia mulai mengamatiku seolah aku adalah sebuah dokumen rahasia yang perlu ia pecahkan sandinya.
Ia akan menanyakan pertanyaan-pertanyaan aneh di saat-saat yang tak terduga. "Kamu tampak lelah hari ini, Laras. Apa yang kamu mimpikan semalam?" atau "Ratna bilang kamu sering melamun di dapur. Apa yang kamu pikirkan?" Setiap pertanyaan terasa seperti sebuah pancingan, sebuah jaring tak terlihat yang ia tebarkan untuk menangkapku.
Aku menjawab setiap pertanyaannya dengan topengku yang paling sempurna. Aku menggunakan Annelies sebagai alibiku. "Saya hanya lelah karena Annelies sering bangun malam, Meneer." "Saya hanya memikirkan pakaian apa yang akan saya jahit untuknya." Aku menjadi seorang ibu yang dunianya hanya seluas buaian putrinya.
Namun, aku merasa jaring itu semakin menyempit. Ia mulai mengujiku. Suatu hari, ia sengaja meninggalkan sebuah peta perkebunan yang ditandai dengan beberapa lingkaran merah di atas meja kamar, lalu ia pergi dengan alasan ada urusan mendadak.
Aku tahu itu adalah sebuah jebakan.
Aku tidak menyentuh peta itu.
Aku bahkan tidak meliriknya.
Aku hanya duduk di samping buaian Annelies, menyenandungkan lagu nina bobo hingga ia kembali. Saat ia masuk ke kamar, aku melihat matanya langsung tertuju pada peta itu, lalu padaku. Ia tidak menemukan apa yang ia cari, tapi aku melihat sebersit kekecewaan di matanya.
Tekanan ini membuatku nyaris gila. Aku merasa seperti seekor tikus yang sedang diawasi oleh seekor ular yang sabar, yang hanya menunggu saat yang tepat untuk menerkam. Aku merindukan Adi, merindukan kemampuannya untuk menenangkanku. Tapi aku tidak berani mengirim pesan lagi.
Terlalu berbahaya.
Kesempatan untuk keluar dari rumah akhirnya datang saat Annelies demam ringan. Aku, dengan panik yang sebagian besar kurekayasa, bersikeras bahwa ia harus diperiksakan ke dokter di Semarang. Willem, yang tidak akan mengambil risiko sekecil apa pun jika menyangkut putrinya, setuju. Ia bahkan memutuskan untuk mengantarku sendiri.